Yogyakarta, IPM.OR.ID – Pada Kamis (3/8) Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LaPSI) dan Bidang Ipmawati PP IPM mengadakan diskusi yang diselenggarakan di Ruang Sidang Utama PP Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Diskusi ini mengambil tema “Sekolah Nir-Kekerasan dan Peran Pelajar Perempuan di Indonesia” dengan Valentina Sri Wijayati yang merupakan Aktivis Perempuan, HAM, dan LSM Satu Nama.
Dalam sambutannya, Ketua Umum PP IPM Velandani Prakoso mengatakan pada pada agenda tersebut LaPSI dan Bidang Ipmawati menyelenggarakan diskusi perdana. “Bidang Ipmawati lahir kembali di periode ini pasca-Muktamar Samarinda sebagai bentuk keberpihakan IPM terhadap kekerasan yang menimpa pelajar perempuan di Indonesia,” kata Velandani.
Senada dengan sambutan dari Velandani, materi yang berlangsung membahas banyak hal mulai dari HAM secara mendasar hingga kasus-kasus yang terjadi di kehidupan nyata. Salah satu bentuknya, dalam proses diskusi itu, Valentina dalam pembuka materi memberikan kertas dan meminta peserta untuk menulis kekerasan yang penah ia lihat, dengar dan terjadi di lingkungan sekolah dan mendapatkan contoh kasus yang beragam dari bermacam usia dan daerah.
Kemudian dalam menghadapi kasus tersebut Valentina menanggapi, “Kita harus memahami akar masalahnya. Kekerasan terhadap perempuan harus dihadapi secara preventif. Salah satu caranya dengan pendidikan gender tetapi masalahnya banyak keluarga yang tidak terdidik, peran pemerintah seharusnya bisa memberikan pendidikan terhadap calon orangtua. (Karena) Semua dimulai dari keluarga.”
Sementara dalam memperjelas definisi kekerasan Valentina berujar, “Kekerasan itu banyak bentuknya, baik seksual, fisik, dan kekerasan di ruang publik seperti merokok. Kalau ada orang yang mengatakan rokok itu bagian dari hak asasi manusia maka bagi saya tidak (seperti itu). Hak asasi manusia itu udara yang bersih dan sehat untuk semua orang.”
“Kekerasan sering dilakukan oleh negara pula, misalnya dalam pembangunan di sekitar suku rimba. Negara tidak pernah bertanya kepada suku rimba tentang apa yang mereka butuhkan tetapi negara langsung membangun secara sepihak. Itu bentuk kekerasan.” kata Valentina menambahkan.
Sementara itu, secara spesifik gerbong khusus perempuan menjadi bukti keberpihakan terhadap hak-hak perempuan. “Gerbong khusus perempuan ini sesuai dengan model HAM termasuk ke dalam alokasi spesifik. Adanya gerbong untuk perempuan ini berdasarkan data-data yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan dari pada lelaki. Di angkutan umum muncul kursi prioritas dan gerbong khusus perempuan, karena selama ini banyak sekali modus kekerasan terhadap perempuan di angkutan umum,” tandas Valentina ketika memberikan contoh spesifik.
Sebagai penutup Valentina memberikan tanggapan positif terhadap keberadaan Bidang Ipmawati. “Saya sangat senang sekali akan lahirnya kembali Bidang Ipmawati di IPM. Sehingga (Bidang Ipmawati) bisa menguatan pembelaan terhadap kelompok rentan, karena persoalan kekerasan dan gender tidak pernah selesai,” tandas Valentina. (nab)