Perhelatan dan kontestasi Muktamar XX Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) telah tiba saatnya. Momentum musyawarah untuk mempertanggungjawabkan, mengevaluasi dan merumuskan arah gerak dan strategi gerakan pelajar Muhammadiyah akan dilaksanakan di forum yang mulia, transparan, demokratis, dan bersih dari praktik-praktik transaksional ini. Tak heran rasa haus perjumpaan dan ghiroh untuk menjadi bagian dari agenda dua tahunan IPM ini selalu membawa dorongan yang kuat bagi setiap jiwa kader yang dalam dirinya tumbuh rasa optimis akan sebuah nilai dan gerakan yang akan diusung oleh para pelajar yang bukan semangat radikal analisa dangkal.
Pelajar yang notabene bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem dan jenjang intelektual, serta tatanan sosial maupun juga sebagai bagian dari yang memberi pengaruh maupun pihak yang terdampak pola kebijakan penguasa tidak boleh sedikitpun luntur semangat gerakan maupun rasa ingin tahu dalam beraktivitas organisasi dan filosofi organisasi itu sendiri guna mewujudkan eksistensinya, terlebih pola-pola gerak ideologis yang menjadi dasaran/pondasi gerakannya.
Kembali ke topik Muktamar, ada kalanya proses Muktamar menjadi sangat menarik dan menggelitik tatkala pikiran-pikiran muda, segar, kritis dan jujur menghiasi dinamika diskusi dalam memandang sebuah narasi besar gerakan yang akan dilahirkan dalam event besar ini. Gagasan-gagasan itu muncul seiring dengan tuntutan kondisi realitas sosial yang melingkupi uji coba dinamika dalam kehidupan seorang pelajar sebagai individu maupun bgian dari sistem sosial di Indonesia.
Progres setiap narasi-narasi yang mengkristal dalam arena Muktamar seyogyanya menjadi bagian penting dan menjadi entry point atas kelangsungan hidup semangat gerakan ideologi kebangsaan, bahwa semangat itu tidak hanya hidup diruang hampa atau pragmatisme semata untuk melahirkan produk di setiap akhir sebuah periode kepemimpinan. Terlebih jika nanti gagasan dan ide itu tanpa muatan ideologis dan ahistoris. Maka ini yang akan membuat dari waktu ke waktu hanya menjadi tumpukan narasi yang tidak mampu terealisasi dan berdampak baik bagi hidupnya gerakan tanpa ada aksi strategis yang membuahkan hasil khususnya untuk membesarkan organisasi kita dan kebangsaan pada umumnya
Ada beberapa hal yang ingin penulis utarakan dalam tulisan singkat ini sebagai catatan pengingat mengenai sebuah kondisi obyektif yang mewujud menjadi material dalam diskursus gerakan yang akan dicanangkan kedepan oleh IPM. Salah satu hal yang memprihatinkan adalah budaya konsumerisme akut yang menghasilkan manusia medioker yang kemampuan berpikirnya pas-pasan bahkan bodoh dan sangat rakus terhadap barang pasar yang notabene barang atau kebutuhan tersebut tidak perlu ada namun diada-adakan sebagai pemuas ataupun pelengkap identitas yang menambah superioritas eksistensinya termasuk latah mengejar sederet gelar tanpa mampu mengubah realita. Padahal dari sisi dan segi kebermanfaatan belum tentu memberikan dampak yang positif serta signifikan dalam keberadaannya sebagai seorang pelajar. Contoh hal seperti ini sungguh nampak dalam fashion, gadget, kendaraan dan alat-alat tersier lain yang sebenarnya tidak perlu ada.
Mengapa saya katakan akut menyoal pola konsumerisme ini? Pola hidup pelajar yang tidak mencerminkan kesederhanaan dan kebersahajaan akan memberikan dampak negatif pada lingkungan sekitar. Semisal sebagai pelajar yang tinggal di daerah pedesaan, bagi yang mampu secara finansial untuk berbelanja barang-barang yang saya sebut diatas tadi sungguh sangat berefek pada pelajar lain yang kurang mampu. Sehingga hal ini berdampak buruk pada proses imajinasi alam bawah sadarnya yang menggiringnya untuk meniru pola-pola konsumerisme akut tersebut. Contoh lain ketika negara belum mampu hadir untuk memberikan akses dan peluang yang sama soal informasi berbasis internet atau media elektronik. Coba kita bayangkan pelajar kita yang hidup di desa yang setiap harinya bergaul dengan alam dan hewan ternak sehingga terjadi kesenjangan yang luar biasa pada bidang ini, dan masih banyak hal-hal lain yang akhirnya menjadi sebuah ketimpangan yang semakin sukar untuk ditangani. Dalam hal ini sikap dan nilai ideologis seorang kader dituntut untuk hadir membawa pencerahan bagi lingkungan/teman sebaya dan sistem yang tercipta dan menolak sikap konsumtif, yang dengan kata lain menolak adanya segala yang disebut demonstration effect.
Proses-proses ideologisasi kebangsaan tempat dimana kita berada menjadi sangat penting dan mendesak bagi seorang aktivis atau kader organisasi yang dalam hal ini adalah pelajar muhammadiyah agar tidak menganggap dirinya hidup diruang hampa. Membayangkan carut-marut kondisi kebangsaan sangatlah terlihat jelas sebagai bukti hilangnya karakter yang tak mau punya nilai historis dan ideologis sama sekali dalam jiwa seorang pelajar islam sebagai bagian dari perkembangan nasionalisme. Kondisi ini mendorong pelajar untuk lebih bersikap apatis dan pragmatis tanpa mau dan mampu berfikir rasional serta peduli terhadap realitas sosial.
Seorang pelajar yang tidak mau dan mampu membaca sejarah dan laju pemikiran ideologi yang bergerak tentu tidak akan mampu membuat perubahan untuk lingkungan dan sistem sosialnya bahkan untuk merubah dirinya sendiri. Sikap ahistoris yang banyak melanda pelajar kita memiliki konsekuensi melemahkan daya nalar kritis-progresif yang seharusnya mewujud menjadi aksi keberpihakan dan pembelaan serta melemahkan kewaspadaannya pada sikap hidup konsumtif seperti diutarakan diatas. Terlebih dibumbui karakter yang tak punya nilai ideologi sama sekali. Lengkap sudah penghancuran sebuah cita dan masa depan generasi pelajar kita jika kedua hal tersebut sudah benar-benar menjangkiti jiwa pelajar.
Oleh karena itu sedikit catatan ini sebagai upaya untuk terus waspada dan megawal laju gerakan ideologis tanpa meninggalkan sejarah pencapaian IPM dimasa lampau. IPM harus mampu mengelaborasi setiap perkembangan yang telah dicapainya sebagai sebuah akumulasi positif yang akan memberikan energi pada setiap gagasan barunya. Karena sejarah itu berulang namun berbentuk spiral, maka kelemahan dan kekuatan yang lalu, potensi yang ada, peluang dan hambatan dimasa mendatang harus dijadikan sebuah instrumen kritis kesinambungan agar sustainable development mempunyai tanggungjawab sosial (meminjam istilah yang dipakai dalam simposium World Culture Forum 2016, Bali -Responsible Development) seperti dalam sila kelima Pancasila kita “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam membuat sebuah kebijakan dan arah strategi gerakan kedepan yang tentunya berbasis pada nilai-nilai ideologi dan bermuatan historis yang kuat dan dipegang teguh oleh kader-kader IPM sehingga tema Muktamar kali ini yakni Menggerakkan Daya Kreatif – Mendorong Pelajar Berkemajuan tidak hanya menjadi mimpi namun mampu terwujud dan menjadi sikap hidup Pelajar pada umumnya.
*) Penulis adalah Warseno, menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bidang Organisasi Periode 2014-2016