Acara akbar IPM yang pertama kali saya ikuti adalah Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) IPM Jawa Tengah. Acaranya digelar pada tahun 2016, di Banjarnegara. Pada acara itu, Azaki Khoirudin yang sedang menjabat sebagai Sekretaris jenderal PP IPM hadir dan membuka Konpiwil sekaligus menjadi narasumber dalam salah satu seminar. Saya menjadi peserta mewakili PD IPM Sukoharjo. Ketua Umum kami berhalangan hadir karena sedang ada kegiatan TM II di Waru, Sukoharjo.
Saat itu, saya terpukau dengan kemegahan acara IPM. Saya juga terpukau dengan retorika IPMawan dan IPMawati Pimpinan Wilayah yang menurut saya waktu itu cerdasnya tidak ketulungan. Maklum, sebagai anak SMA, apalagi di pondok, saya jarang keluar. Sejak saat itu pula saya bertekat untuk terus ber-IPM. Entah sampai kapan. Tentu maksud terus ber-IPM adalah biar bisa keren kaya IPMawan dan IPMawati pejabat itu tadi.
Ada satu hal yang menarik. Saat penyampaian progres report, ada salah satu peserta dari PD IPM yang membahas tentang keberagamaan kader-kader IPM. Sebagai Pimpinan Wilayah, Wawan (Ketua Umum IPM Jawa Tengah) saat itu bersama Rafika, (Sekretaris Umum IPM Jawa Tengah) dan jajaran yang lain duduk di depan berdampingan. Tidak ada pembatas bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana lazimnya acara IPM.
“Bagaimana mungkin kader IPM yang berlandaskan ajaran Islam bisa duduk berdampingan dengan lawan jenis tanpa pembatas apapun?” ujar seorang peserta tersebut. Saya tak ingat ia dari PD IPM mana. Ia mempersoalkan campur-baurnya laki-laki dan perempuan di acara Konpiwil.
Keberagamaan IPM memang majemuk. Di Rakernas Bali kemarin, ada juga peserta yang mempersoalkan IPMawati yang tidak menggunakan kaos kaki. Menurutnya, hal tersebut tidak lazim. Lantas, adakah sebenarnya panduan baku yang berlaku bagi kader-kader IPM dalam hal keagamaan?
Sekilas yang saya tahu, hal tersebut tidak ada. Keberagamaan IPM tentu mengacu kepada keberagamaan Muhammadiyah. Dalam hal ini, tentu Majelis Tarjih yang punya domain. Namun, Majelis tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Majelis Tarjih tidak bisa menghukum IPMawan yang naik motor bareng IPMawati, misalnya.
Beberapa waktu yang lalu, Eliza selaku Kabid KDI PP IPM punya wacana akan membuat buku pedoman keberagamaan untuk pelajar.
“Mirip-mirip PHIWM tapi untuk pelajar lah kira-kira,” ujar Eliza kepada saya beberapa waktu yang lalu.
Kembali ke persoalan keberagamaan tadi, Sebenarnya mana yang benar? Apakah duduk berdampingan IPMawan dan IPMawati itu benar? Atau justru salah? Apakah berboncengan dengan lawan jenis itu boleh? Lalu bagaimana dengan IPMawati yang tidak menggunakan kaos kaki? Apakah layak kita salahkan?
Islam sebagai agama memiliki banyak wajah. Islam adalah entitas yang tunggal. Namun, ketika diturunkan ke muka bumi, dan diterima oleh miliaran umatnya, maka ia menjadi tidak lagi tunggal. Ia dipahami secara majemuk dan heterogen.
Dalam hal ini, muncul banyak wajah yang melekat dalam istilah ‘Islami’. Apakah yang ‘Islami’ itu yang tidak berjabat tangan dengan lawan jenis, atau justru sebaliknya?
Kelompok sufistik memahami Islam dalam aspek-aspeknya yang mistis dan esoteris. Kitab-kitab tafsir sufistik selalu berbicara dalam tataran mistis dan esoteris. Merekapun beragama dengan begitu mistis dan esoteris.
Rabiah Al-Adawiyah misalnya, pernah berkata “Aku hendak membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air ini. Agar orang tidak lagi mengharapkan surga dan menakutkan neraka dalam ibadahnya.”
Yang paling ‘Islami’ menurut orang-orang sufi adalah yang paling menyatu, manunggal dengan Tuhan. Yang tidak lagi tersingkap dari hijab Tuhan. Terlepas dari amalan fisik apa yang dilakukan.
Kalimat-kalimat Rabiah itu tentu bertentangan dengan apa yang biasa dipahami oleh ulama fikih. Di mana sebagian besar ulama fikih itu melihat banyak hal dari kacamata halal-haram yang nantinya berkaitan dengan masuk surga atau masuk neraka. Sebagian dari mereka bahkan gemar menghitung. Seolah beragama ini seperti proses jual beli saja.
Namun, ternyata paham-paham seperti itu laku keras di pasaran. Banyak masyarakat yang senang dan nyaman. Mereka merasa dengan seperti itu, balasan atas kebaikan yang mereka lakukan lebih nyata dan konkret. Tidak abstrak seperti paham sufisme.
Beda lagi dengan oknum-oknum ulama penganjur jihad fisik, misalnya. Apa yang ‘Islami’ menurut mereka adalah hal-hal yang bersifat perang. Sebagian pengajur jihad itu sering berkata bahwa kita, seluruh umat Islam di atas muka bumi ini ikut berdosa atas tertumpahnya bayi yang meninggal di Suriah. Tentu yang mereka maksud adalah bayi yang lahir dari orang tua sunni, bukan sebaliknya.
Ada yang memahami ajaran Islam sebagai ajaran untuk memperkaya diri. Karena, dengan menjadi kaya, seseorang bisa berbuat kebaikan lebih banyak. Dia bisa mendirikan masjid, mendirikan pesantren, membantu panti asuhan, menghajikan orang tua, dan seterusnya. Tentu, pemahaman bahwa seorang muslim harus kaya, dalam beberapa aspek bisa bertentangan dengan pemahaman sufistik yang tidak peduli dengan kehidupan dunia.
Ada yang memahami ajaran Islam sebagai ajaran yang penuh dengan nuansa keilmuan. Mereka merasa, orang yang paling ‘Islami’ itu yang orang yang setiap hari belajar. Sesuai dengan keilmuan masing-masing.
Ada pula yang memahami ajaran Islam sebagai ajaran untuk merubah kehidupan sosial masyarakat menjadi lebih baik. Kelompok ini biasa kita kenal dengan istilah ‘aktivis’. Kelompok ini menganggap yang paling ‘Islami’ adalah mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi. Kesibukan mereka sehari-hari adalah rapat-kegiatan-rapat-kegiatan. Kader-kader IPM biasanya relatif dekat dengan dua kelompok terakhir.
Pertanyaannya, apakah dua kelompok terakhir di atas adalah kelompok yang ‘paling benar’ atau ‘lebih benar’ dari kelompok yang lain? Menurut saya, jawabannya belum tentu. Padahal, selain empat kelompok di atas, ada banyak lagi kelompok-kelompok lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.
Jadi, sekali lagi, wajah Islam itu beragam. Sehingga, tafsir ‘yang paling Islami’ juga menjadi beragam, tergantung dari sudut pandang siapa. Lalu, untuk membahas tentang religiusitas kader IPM, saya ingin mengajukan dua landasan yang layak untuk dipertimbangkan. Pertama, moral. Kedua, ketenangan jiwa.
Apapun corak keberagamaan seseorang, mau dia sufistik, aktivis, intelektual, pebisnis yang mengejar kekayaan harta, dan lain-lain, yang penting dan pokok adalah tidak menabrak nilai-nilai moral. Nilai moralitas adalah nilai yang abadi, fundamental, dan universal. Seluruh agama dan kepercayaan mengajarkan tentang moralitas.
Jadi, dalam konteks IPM, selama seorang kader itu memiliki moral yang baik, maka tidak menjadi masalah jika dia beragama dengan corak apapun. Ya walaupun secara etis tentu baiknya mengikuti paham agama Muhammadiyah. Namun, IPM dan Majelis Tarjih juga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Selain moral, baiknya seorang kader juga memiliki ketenangan jiwa dalam menjalani corak keberagamaan yang ia yakini. Menurut saya, agama diturunkan untuk membuat jiwa kita menjadi tenang. Jika dalam beragama ternyata kita masih terus-menerus gelisah, maka barangkali keberagamaan kita perlu ditinjau ulang.
Tak salah pula apabila kita berpikir bahwa kita harus gelisah melihat kondisi masyarakat di sekitar. Namun, gelisah melihat kondisi masyarakat dengan gelisah karena merasa ada yang salah dengan keberagamaan kita tentu hal yang berbeda bukan?. Seburuk apapun kondisi masyarakat sekitar, ketika kita bisa beragama dengan khusyu’ dan tenang, maka kita akan bisa melakukan hal-hal positif untuk melakukan perubahan sedikit demi sedikit.
- Penulis adalah Yusuf R Yanuri, Anggota Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PP IPM
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
1 Komentar. Leave new
Bagi saya, jika bahasannya terkait cara beragama (keberagamaan menurut istilah penulis di atas), tidak cukup hanya berlandaskan moral & ketenangan jiwa. Karena keduanya masih bisa menjadi bias/mengikuti keinginan manusia. Kalau yg dibicarakan persoalan hukum dalam agama, mestinya tidak bisa lepas dari dasar² pengambilan hukum itu sendiri. Al Qur’an dan Al Hadits dan sumber² hukum lainnya, yg lebih dari sekedar moralitas & kenyamanan pribadi.
Benar bahwa IPM bahkan Majelis Tarjih tidak memiliki kekuatan hukum yg mengikat, namun perlu diingatkan juga, jika “hendak menyelisihi” apa yg ditetapkan dalam putusan² tarjih, mesti memiliki dasar hukumnya/pendapat dari para ulama juga. Lagi² tidak cukup sekedar moral & ketenangan pribadi 😊