Rohingya, etnis Islam yang berdasarkan data dari situs Wikipedia.com, mereka sudah lama bermukim di sebelah barat Negara Myanmar. Hingga akhirnya, menjadi sebuah komunitas yang beranak pinang secara biologis dan ideologis. Tepatnya, mereka tinggal di daerah yang notabene rawan sekali dengan konflik sejarah dan sumber daya alam. Tragedi pembantaian yang dari waktu ke waktu bukannya semakin teredam, tetapi semakin mendarah daging hingga anak cucu mereka.
Terlepas dari alasan konflik yang sebenarnya dengan menilik sejarah dan membaca artefak-artefak yang masih ada, serta terelepas dari subjek yang benar dan salah. Sebagian besar dari kita hanya bisa mengetahui secuil dari yang terjadi di sana, kecuali mereka sendiri yang terlibat dan Allah yang Maha terlibat. Apapun itu, tidak sedikit pula media yang memberitakan tentang konflik Rohingya dimulai dari abjad a sampai dengan z, dan kembali ke abjad a lagi, begitu seterusnya. Hampir semua media yang memberitakan mengklaim bahwa beritanyalah yang paling valid.
Secara umum, ini adalah bentuk dari krisis kemanusiaan yang sedang terjadi dan akan terus terjadi di bumi ini, selama para manusia tidak “memanusiakan” dirinya sendiri dengan mengedepankan “sisi hewan” mereka. Tentang beberapa agama yang disangkut pautkan dalam konflik tersebut, itu hanya menjadi “bumbu penyedap” yang digunakan para oknum yang tidak menggunakan sisi manusianya untuk menutupi “rasa pahit” yang sebenarnya. Ah, rasanya terlalu rumit bagi kita para pelajar untuk membaca dan memahami seperti apa kejadian yang sebenarnya. Meski kumpulan berita tentang rohingya sudah mulai “tertutupi” dengan berita konspirasi dan korupsi para penguasa.
Alangkah baiknya, kita tidak menganggap bagai angin lewat saja. Jangan sampai aksi-aksi kita untuk menggalang dana yang hasilnya mencapai nominal 14M (lazizmu.org, 2017), orasi-orasi kecaman, dan pengiriman relawan serta lebih parahnya ucapan-ucapan duka cita di media sosial yang hanya sebatas formalitas. Buruknya itu semua menghilangkan tanggung jawab sosial atau bahkan tanpa makna.
Gengs,kita berada di tanah air tercinta ini (ya, meskipun tanahnya sudah dibeli oleh asing, jadi tinggal airnya saja), sudah banyak sekali konflik yang terjadi dan serupa dengan rohingya. Bahkan terjadi disetiap tahunnya lebih dari satu konflik. Yang paling menggegerkan dan disorot oleh media adalah konflik yang terjadi di papua tahun lalu. Belum lagi konflik yang tidak tersorot atau memang “sengaja” untuk tidak disorot.
Hematnya adalah, perlu kita sadari dan sepakati bersama bahwa Negara kita ini adalah Negara yang menjadi “daging segar” untuk menjadi incaran para oknum yang sama seperti di balik konflik rohingya. Besarnya potensi perpecahan di Negara kita menjadi celah besar untuk “mereka” sengaja merengganggkan simpul persatuan dan keutuhan bangsa kita, melalui adu domba dan semacamnya. Lalu yang dipertanyakan, bagaimana kita akan bisa tersadar untuk menutup celah itu secara kolektif? mari berkaca.
Berangkat dari tafsir surat Ibrahim ayat ke 7, tentang mensyukuri dan mengkufuri nikmat yang di berikar oleh Allah swt, penulis melihat bahwa Allah sengaja memberikan 2 pilihan kepada manusia, yaitu memilih bersyukur atau menjadi kufur. Dan Allah memberikan konsekuensi dari masing-masing pilihan yang ditawarkan. Wallahu ‘alam.
Pertama, mari bermuhasabah. Berkaca pada upaya kita untuk mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita dan sekitar kita, seperti nikmat persatuan, ketenteramanan sosial, dan sebagainya. Ucapkan rasa syukur dengan “menjaga” kondisi sosial disekitar yang masih terjaga dari konflik dan memberikan rasa aman bagi para manusianya. Arti menjaga di sini adalah menjaga dalam konteks kemanusiaan, dan bersama-sama memberikan pesan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.
Coba kita tengok sebentar negeri-negeri yang berada di timur tengah. Negara suriah yang dulunya adalah bagian dari Negeri Syam. Negeri yang dirahmati oleh Allah, hari ini yang tersisa adalah kejayaan sejarah dan penyesalan. Salah satu penyebab hancurnya Negara suriah dan beberapa Negara timur tengah yang bernasib serupa adalah renggangnya tali persatuan diantara mereka. Sehingga timbulnya rasa saling curiga, berasal dari bisikan adu domba pihak luar yang ingin menghancurkan mereka dengan sengaja.
Seringkali kita terlena, hingga lengah dalam hal menjaga keutuhan dan ketenteraman sosial di sekitar kita. Terkadang kita terjebak ke dalam “zona nyaman” yang secara tidak sadar atau bahkan secara sadar kita sendiri yang membuka celah untuk terjadinya konflik-konflik yang serupa. Jangan sampai rasa nyaman yang kita rasakan hari ini, kemudian menghilangkan rasa aman di hari esok. Hanya karena kita gagal untuk menyadari dan menyikap makna dari kondisi-kondisi sosial yang sedang terjadi di sekitar kita.
Senada dengan itu, sebagian dari kita juga sedang berada di dalam kondisi yang kering akan khasanah ilmu pengetahuan. Sehingga dapat menjadi “bahan bakar” guna menyalakan api-api konflik sosial bagi mereka yang berniat jahat. Mengapa? Karena jauh sebelum kita mendapatkan informasi apapun, setidak-tidaknya ilmu menjadi batu pijakan kita untuk memaknai dan menyikapi segala permasalahan. Maka, ilmu menjadi salah satu indikator penting tentang baik atau tidaknya respon seseorang terhadap sesuatu yang sedang ia hadapi. Segala kelemahan dan keterbatasan, disini penulis hanya dapat mengambil 2 kata kunci untuk kita mengungkapkan rasa syukur kita. Yaitu dengan tiada henti mencari ilmu, dan menjaga rasa aman dengan menghilangkan rasa curiga akan satu sama lain.
Kedua, jika kita memilih kufur, maka Allah sudah menyiapkan berbagai konsekuensi buruk yang dilakukan dengan caraNya sendiri. Saya hanya tidak sanggup melukiskan tentang hal apa yang akan terjadi jika kita mengkufuri nikmatNya. Boleh jadi, hari ini kita yang bergerak untuk menggalang segala bentuk bantuan kepada mereka. Dan boleh jadi pula, kita yang mendapatkan bantuan oleh Negara lain di kemudian hari jika kita terlena akan nikmatNya. Wallahu a’lam bishawab.
*Penulis adalah Iman Permadi, Ketua Advokasi PW IPM Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Studi Agama-Agama di Universitas Muhammadiyah Surabaya.