Tingkat kekerasan di sekolah menjadi pembahasan yang belum selesai. Berbagai kajian dan praktik dilakukan untuk menemukan model sekolah yang manusiawi. Bagaimana potret kajian dan praktik itu setelah sekian tahun belakangan ini? hal penting apa saja yang dapat diperoleh? bagaimana sekolah tanpa kekerasan berhasil memfasilitasi anak lebih baik?.
Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LaPSI PP IPM) bekerjasama dengan Student Empowerement Center (SEC PW IPM DIY) menyelenggarakan diskusi bertemakan “Sekolah Ramah Anak dan Peran IPM.”
Diskusi yang diselenggarakan 5 Maret 2016 di gedung PP Muhammadiyah Jl. KHA. Dahlan tersebut mengundang Syifaul Arifin, Redaktur Solopos, alumi PP IRM, sekaligus salah-satu penggagas Gerakan Tanpa Kekerasan IRM tahun 2000.
Dalam diskusi, Syifaul yang akrab disapa Mas Faul mengatakan bahwa kekerasan di sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan yang cenderung diskriminatif. Guru dan orangtua harus menjadi pilar penting siswa dalam membentuk kepribadian yang apresiatif dan toleran.
Diskusi yang mengundang siswa SMA di DIY itu juga turut berbagi pengalaman soal kekerasan di sekolah, mulai dari bullying hingga tawuran. “Kami sebagai siswa berupaya untuk menjadi agen perdamaian” ungkap salah-seorang peserta.
Menurut Syifaul, IPM memiliki peran yang sangat penting dalam mengadvokasi tindakan-tindakan kekerasan di sekolah. “IPM minimal menjadi pendamping atau fasilitator dalam kasus-kasus kekerasan tertentu. Saya kira peran IPM letaknya di sini, membantu teman-teman pelajar memastikan dirinya didukung. Maka penting sekali ada lembaga di bawah tiap pimpinan IPM yang fokus pada agenda advokasi kekerasan di sekolah” imbuh Syifaul. (@FauAnwar)