Diskusi tentang Full Day School sampai saat ini masih marak, baik melalui forum ilmiah, group WhatsApp, bahkan sampai warung angkringan sekalipun. Diskusi ini dipicu oleh pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Prof Muhajir Effendi, menanggapi maraknya anak – anak pulang sekolah yang terpengaruh lingkungan negatif, seperti tawuran, narkoba, pergaulan bebas dan lain – lain. Pak manteri prihatin dengan kondisi tersebut dan kemudian dikaitkan dengan nawacita nya Presiden tentang pembentukan karakter pelajar, muncullah ide Full Day School (FDS), pelajar di sekolah sampai sore dipantau dan dibimbing dalam pembentukan karakternya, melalui berbagai macam kegiatan yang mengasyikan dan mengembirakan. Lalu dimana kontraversinya ide pak Menteri tersebut ? adakah letak kesalahan ide FDS yang di lontarkan pak menteri ? sehingga jagat raya sosial media begitu heboh nya.
Kontraversi FDS
Pelaksanaan Pendidikan sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kondisi masyarakat di sekitarnya. Pendidikan harus juga menjawab kebutuhan masyarakat yang ada disekitar pelaksanaan pendidikan, sehingga metode, cara, pola corak atau apapun sebutannya bisa jadi berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain, bahkan satu daerahpun bisa sangat berbeda corak pelaksanaan pendidikan. Ketika akan ada penyeragaman corak pendidikan pada saat itulah akan terjadi kontraversi.
Apa yang di ungkapkan Prof Muhajir Effendi tentang FDS dalam alam bawah sadar dan pemahaman masyarakat akan menjadi kebijakan nasional yang mewajibkan semua sekolah melaksanakan FDS, dan menggunakan pemahaman itulah masyarakat berreaksi atas ide pak Menteri, dan mungkin bagi sebagian aktor politik dan orang – orang yang punya kepentingan (karena menteri adalah jabatan politik), pemahaman masyarakat tersebut dimanfaatkan untuk menyerang prof Muhajir.
Disisi lain pemahaman masyarakat tentang FDS adalah memperpanjang jam pelajaran, masyarakat membayangkan putra dan putrinya akan berada di dalam kelas sampai jam 16.00 sore dari hari senin sampai sabtu, tentu kasihan anak – anak, kelelahan, bosan, apalagi jika fasilitas sekolah tidak mendukung, tentu orang tua tidak rela anaknya begitu, pemahaman FDS yang jauh berbeda apa yang diungkapkan Prof Muhajir.
Konsep FDS
FDS adalah salah satu metode dalam melaksanakan pendidikan, karena ini metode tentu menjadi pilihan dalam pelaksanaannya, yang bisa jadi tepat tetapi bisa jadi tidak tepat untuk daerah dan tempat yang lainnya. Sungguh naif jika kita berasumsi bahwa FDS akan dilaksanakan di semua sekolah, jangankan FDS, kurikulum 2013 saja yang lebih fundamental untuk diterapkan tidak semua sekolah menerapkannya, mungkin hanya di Indonesia sekolah menerapkan dua kurikulum yaitu kurikulum 2006 dan kurikulum 2013.
Pertanyaan sederhananya kapan FDS tepat untuk dilaksankan ? Sebagai sebuah metode pelaksanaan FDS minimal mensyaratkan : pertama FDS harus menjawab kebutuhan masyarakat disekitar pelaksanaan pendidikan atau pengguna jasa pendidikan, jika masyarakat tidak membutuhkan dilaksankannya FDS karena bisa mendidik anak selepas sekolah, atau anak – anak disekitar sekolah tersebut ada kegiatan TPA atau kegiatan yang lain, maka FDS tidak perlu dilaksanakan. Tetapi sebaliknya jika anak – anak selepas sekolah tidak terkontrol pergaulannya, bahkan kadang pulang sore karena bermain, nongkrong sambil merokok, kadang terlibat tawuran, dan orang tua tidak sanggup mendidiknya maka FDS menjadi alternatif untuk dilaksanakan. Sekarang pengambil kebijakan (pemerintah/kementrian pendidikan/dinas pendidikan) bersama sekolah, komite sekolah dan orang tua menganalisa bersama apakah FDS menjawab kebutuhan dan persoalan orang tua siswa. KeduaKondisi sekolah dan fasilitas, penerapan FDS tentu harus mempertimbangkan kondisi dan fasilitas sekolah, kenyamanan anak – anak ketika berada di sekolah tentu harus menjadi perhatian khusus, kesiapan guru dan berbagai perangkat sekolah, kegiatan yang akan dilaksanakan dan berbagai kesiapan lainnya, pendek kata analisis kesiapan secara fisik untuk penerapan FDS tentu harus cermat.
FDS yang di wacanakan Prof Muhajir sesungguhnya bukan hal baru, FDS sudah dilaksanakan oleh lembaga – lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan swasta, dan biasanya lembaga pendidikan yang melaksanakan metode FDS termasuk lembaga pendidikan yang mahal, hanya masyarakat yang berlebihan uang saja yang dapat menyekolahkan putra – putrinya di sekolah yang menerapkan FDS. Gagasan Prof Muhajir sesungguhnya mengindikasikan keperdulian pemerintah agar FDS yang mahal tersebut dapat juga dinikmati oleh masyarakat yang tidak punya kelebihan uang. Andaikan FDS diterapkan di sekolah negeri tentu pemerintah harus mendanai sekolah tersebut agar dapat melaksanakan FDS, dan masyarakat yang tidak mampu pun dapat menikmati sekolah yang menerapkan FDS, dan tentu tidak semua sekolah akan menerapkan FDS. Masyarakat dapat memilih pendidikan yang terbaik buat putra – putrinya mau sistem Full day School atau half day school.
Catatan akhir saya sesungguhnya ada PR besar dibalik ide Full Day School nya Prof Muhajir yang luput dari diskusi publik yaitu keprihatinan Prof muhajir tentang lingkungan negatif anak – anak pulang sekolah, sebagaimana ungkapan Prof Dr Komarudin Hidayat ” Gagasan full day school (FDS) yang dilontarkan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy telah mengundang tanggapan pro-kontra.Padahal, yang mestinya ditangkap terlebih dahulu itu keprihatinan Menteri terhadap nasib siswa yang lingkungan sosialnya tidak sehat selepas pulang sekolah. Orang tua berangkat kerja pagi, pulang ke rumah malam hari. Lalu anakanak menghabiskan waktunya di tempat dan lingkungan sosial yang dibayangi peredaran narkoba, pornografi dan perkelahian. Itulah inti permasalahannya yang mesti kita turut prihatin”. Semoga kita tidak hanya berhenti berdebat di FDS saja tanpa memikirkan masa depan anak – anak kita. Walahu’alam Bishowab
Arif Jamali Muis (Guru SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta dan Wakil Ketua PWM DIY).