Setelah reformasi
, ide untuk mengembalikan nama IPM kembali bergulir. Perdebatan ini berlangsung dengan sangat intens dalam berbagai forum tertinggi organisasi. Perdebatan tentang perubahan nama ini misalnya muncul dalam Muktamar 2000 di Jakarta, 2006 di Medan dan 2008 di Surakarta. Dan akhirnya pada Muktamar di Surakarta 2008 itulah IRM secara resmi mengembalikan nomenklaturnya menjadi IPM setelah melalui berbagai perdebatan yang cukup panjang.
, ide untuk mengembalikan nama IPM kembali bergulir. Perdebatan ini berlangsung dengan sangat intens dalam berbagai forum tertinggi organisasi. Perdebatan tentang perubahan nama ini misalnya muncul dalam Muktamar 2000 di Jakarta, 2006 di Medan dan 2008 di Surakarta. Dan akhirnya pada Muktamar di Surakarta 2008 itulah IRM secara resmi mengembalikan nomenklaturnya menjadi IPM setelah melalui berbagai perdebatan yang cukup panjang.
Setidaknya ada dua hal yang mendorong gagasan perubahan nomenklatur ini. Pertama, Reformasi yang memberikan kembali kebebasan bagi berbagai elemen masyarakat untuk menegaskan kembali identitas dirinya. Pada zaman orde baru, semua organisasi terkungkung oleh azas tunggal, yang mengharuskan semua organisasi berazaskan pancasila. Bagi yang tidak menggunakan azas tersebut, maka diberikan pilihan untuk mengubah azasnya atau membubarkan diri. Represi pemerintah untuk melakukan pengaturan dan penyelarasan organisasi ini juga terjadi pada organisasi berbasis pelajar. Pada awal tahun 90-an pemerintah melalui menteri pemuda dan olahraga menegaskan hanya mengakui OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) sebagai satu-satunya organisasi pelajar di sekolah. Kemudian organisasi diluar OSIS dipaksa untuk ‘menyesuaikan diri’. Mengubah nama, atau membubarkan diri. IPM kemudian berubah menjadi IRM, IPNU dengan P = Pelajar berubah menjadi IPNU dengan P = Putera. Hanya PII yang menolak mengubah nama dan memilih untuk berjalan secara underground. Latar belakang ini kemudian setelah reformasi terjadi, elemen sosial kembali mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini mendorong lebih besar keinginan untuk mengembalikan nomenklatur, dan isu ini kemudian menjadi isu penting karena perubahan yang dulu terjadi dianggap sebuah pemaksaan dan strategi untuk menjawab kondisi saat itu.
Faktor kedua yang mendorong kembalinya IRM menjadi IPM adalah anjuran dari PP Muhammadiyah. Sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang, PP Muhammadiyah selalu mendorong IRM untuk kembali menjadi IPM. Salah satu alasan PP Muhammadiyah menganjurkan perubahan ini adalah penyelarasan gerakan. Bagi Muhammadiyah, ortom adalah perpanjangan (proxy) dakwah Muhammadiyah bagi segmen khusus yang tidak mampu secara langsung ditangani oleh Muhammadiyah. Maka IRM seharusnya fokus untuk menggarap pelajar, IMM untuk Mahasiswa, Pemuda dan NA untuk pemuda dan pemudi. IPM seyogyanya berkonsentrasi untuk membantu sekolah dalam pengembangan diri pelajar Muhammadiyah. Anjuran ini selalu disampaikan PP Muhammadiyah dalam berbagai forum IPM dan bahkan melalui surat edaran resmi PP Muhammadiyah.
Di internal organisasi pendapat PP IRM berbeda-beda mengenai pentingnya perubahan nomenklatur dari IRM ke IPM. Sebagian menyatakan bahwa berubahnya IPM ke IRM adalah sebuah strategi yang cerdas dan bukan sebagai sebuah ketidakberdayaan menghadapi desakan pemerintah. Berubahnya IPM menjadi IRM adalah sebuah kesempatan dan strategi untuk memperluas wilayah kerja, dan kontribusi IPM bagi generasi muda. Karena dengan menggunakan nomenklatur remaja berarti IPM telah mengambil segmen yang lebih luas daripada pelajar. Maka ruang gerak IRM lebih luas daripada IPM, tidak hanya kegiatan di sekolah namun juga untuk menjawab tantangan dan permasalahan sosial yang terjadi di kalangan remaja. Bagi sebagian orang kemudian isu perubahan nomenklatur menjadi tidak signifikan. Karena IRM dirasa lebih inklusifdaripada IPM. IRM adalah penyelamat eksistensi IPM, dan merupakan solusi cerdas untuk permasalahan remaja yang semakin hari semakin berat. Salah satu pernyataan yang muncul mengenai hal ini misalnya adalah bagaimana peran ranting dan cabang IRM non sekolah yang berbasis di masjid dan desa-desa, jika nomenklatur IRM dikembalikan menjadi IPM?
Sementara sebagian lain (terutama yang pernah di IPM sebelum perubahan nama berpendapat bahwa perubahan nama adalah sebuah kecelakaan sejarah dan ketidakberdayaan ormas saat itu dari desakan pemerintah. Kritikan lainnya adalah karena kata remaja dianggap kurang ideologis daripada kata pelajar. Hal ini akan berpengaruh terhadap orientasi organisasi yang kemudian menjadi tidak fokus, karena terlalu banyak isu yang ingin direspon dan diberikan solusi. Sementara konstituen dan tugas utama organisasi pelajar untuk melakukan pendampingan dan pemberdayaan di kalangan pelajar kemudian menjadi tidak berjalan dengan maksimal karena fokus organisasi yang terbagi ke dalam banyak hal.
Nama adalah simbol, Perubahan adalah pilihan
Jika diamati dari budaya dan isu yang dikembangkan dalam masing-masing dekade, perubahan nama dari IPM ke IRM memang berpengaruh terhadap orientasi dan fokus organisasi secara keseluruhan. Walau bagaimanapun nama adalah identitas organisasi yang akan mempengaruhi nilai-nilai dan wacana yang dikembangkan dalam sebuah organisasi. Nama, seperti juga logo, semboyan, lagu dan pranata lain sebetulnya merepresentasikan dan akan mempengaruhi nilai-nilai yang dikembangkan dalam organisasi tersebut. Beberapa hal tersebut adalah sistem penanda (sign system) untuk menunjukkan identitas dari masing-masing gerakan. Paling tidak ini yang saya amati terjadi di IPM/IRM.
Jargon yang sangat terkenal di IPM adalah 3 Tertib, yaitu Tertib Ibadah, Tertib Belajar dan Tertib Berorganisasi. Jargon ini tentunya merepresentasikan fokus gerakan IPM saat itu yang sepertinya bertitikberat kepada pengembangan kapasitas pribadi anggotanya. Dalam hal ini pelajar diposisikan sebagai subjek dan objek dari gerakan itu sendiri. IPM fokus kepada anggotanya sendiri. Maka tidak heran jika varian kegiatan yang dilaksanakan oleh IPM mengarah ke arah sana. Program-program yang dilaksanakan oleh IPM misalnya adalah Korps Ilmiah dan pengembangan studi di kalangan pelajar. Selain program-program yang sejak pertama kali didirikan ada, yaitu perkaderan. Karena program terakhir adalah perwujudan dari alasan utama kenapa IPM didirikan pada tahun 1961 yaitu untuk membendung ideologi komunis di kalangan pelajar. Namun secara umum ketika bergerak dalam IPM di awal program fokus dalam pengembangan pelajar dan pengembangan dirinya.
Tentunya hal ini berbeda dengan semboyan lain misalnya yang berkembang ketika IPM telah berganti nama menjadi IRM. Gerakan Pelajar Kritis Transformatif adalah paradigma gerakan yang dipilih, yang memposisikan pelajar sebagai subyek dan realitas sosial sebagai objek yang harus digarap dan diberikan intervensi. Ini juga misalnya yang mendorong IRM untuk ikut andil dalam isu GATK (gerakan aktif tanpa kekerasan), atau pendirian rumah-rumah singgah di beberapa pojok kota Jakarta bekerjasama dengan ‘Aisyiyah, juga misal masuknya kurikulum analisis sosial di dalam sistem perkaderan IRM. Pilihan ini memang memungkinkan IRM untuk merespon permasalahan sosial yang terjadi di rentang usia kelompoknya (remaja). Perbincangan tidak lagi sekedar soal intelektualitas, dan ketertiban untuk menjadi seorang pelajar yang baik, namun melebar menjadi aktifitas gerakan yang mampu menjawab dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sekitar. Ini adalah nilai yang dikembangkan yang dipengaruhi oleh pilihan-pilihan tersebut, termasuk pilihan nomenklatur yang dijadikan sebagai nama gerakan.
Gerakan Pelajar Kritis Transformatif adalah pilihan gerakan yang cerdas dan strategis yang dipilih oleh IRM. Namun pilihan inipun tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik yang paling kuat adalah apakah IRM dengan basis gerakan pelajar mampu menjawab ekspektasi yang diharapkan dari gerakan krtitis transformatif ini? Kritikan lain adalah gap yang terjadi antara pemikiran yang berat dan profetis ini dengan realitas basis gerakan IPM di tingkat grass root. Apakah tidak terlalu berat?
Perubahan nama, sebuah awal
Dan pertanyaan terbesar yang mesti dijawab oleh semua pihak adalah apa sebetulnya yang paling signifikan dari isu perubahan nomenklatur ini? Apakah berubahnya IRM kembali ke IPM sekedar perubahan nama? Apakah perbedaan dari IPM format lama dengan IPM saat ini atau dengan IRM? Apakah IPM baru ini akan melanjutkan perubahan paradigma yang sudah dilakukan IRM atau sama sekali baru? Beberapa pertanyaan ini selalu muncul saat mendiskusikan penting atau tidaknya mengembalikan nomenklatur IRM menjadi IPM. Dan pertanyaan ini akan merangsang ikatan untuk terus merefleksikan dan memikirkan ulang orientasi gerakannya.
Sebuah gerakan terdiri dari berbagai hal yang membangun aktifitasnya, ide dan nilai adalah dasar yang sangat penting untuk hal itu. Pendefinisian ide dan nilai gerakan yang jelas dan tuntas akan menjadi petunjuk arah yang sangat penting bagi tercapainya cita-cita gerakan itu sendiri. Kedua, adalah struktur dan sistem gerakan. Tanpa struktur yang mencerminkan ide dan nilai gerakan maka struktur malah akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya. Misalnya jika ide gerakan menjunjung kesetaraan dan keberpihakan maka akan menjadi masalah jika struktur ataupun aturan yang ada dalam organisasi tidak mencerminkan hal tersebut atau justru bertolak belakang.
Dalam manajemen strategis, untuk tercapainya tujuan sebuah gerakan harus melalui berbagai fase. Dari mulai fase perumusan ide dan gagasan gerakan, pelaksanaan dan review dari ide tersebut. Dan semua itu memerlukan strateginya masing-masing. Dan semuanya perlu dirumuskan dan direncanakan secara seksama. Salah satu kelemahan dari IPM adalah sangat serius dalam perumusan ide gerakan namun terkadang lemah dalam pelaksaannya. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya institusionalisasi ide dan gagasan yang berkembang dalam gerakan. Ide Gerakan Kritis Transformatif yang sudah muncul dan ditetapkan sejak tahun 2000, namun proses diseminasi dan institusionalisasi dari ide tersebut tidak berjalan dengan baik. Salah satu institusi yang paling strategis untuk melakukan diseminasi ide Gerakan Kritis Transformatif adalah melalui sistem perkaderan (SPI), dan kegiatan yang dapat melakukan itu adalah TM dari TM1-TMU dan pelatihan fasilitator. Sehingga ini bisa dijadikan indikator tersebar atau tidaknya ide gerakan tersebut dalam seluruh anggota gerakan. Namun ini terjadi dengan tidak maksimal dalam pelaksanaannya. Pelatihan Fasilitator Nasional hingga tahun 2011 ini baru diadakan dua kali, yaitu pada tahun 2003 dan 2008. Maka tidak heran jika Pimpinan Pusat hingga saat ini sering kewalahan untuk memenuhi permintaan fasilitator untuk pelatihan di tingkat provinsi, karena jumlah fasilitator yang kurang. Di lain pihak ide gerakan kritis transformatif akhirnya menjadi konsumsi sebagian elit organisasi tapi tidak menjadi pemahaman yang massif setiap anggota. Padahal betapa dahsyat bila pemahaman ini menjadi pegangan setiap anggota dan mampu melaksanakannya dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Selain melakukan institusionalisasi gerakan juga perlu melakukan perubahan secara komprehensif. Konsep yang brilian tidak akan berhasil tanpa melakukan aktifitas dan follow up yang konsisten dan sesuai dengan idenya. Dalam IPM/IRM banyak sekali buku panduan yang telah dihasilkan, namun terkadang buku tersebut hanya stuck menjadi kebanggaan di tingkat wilayah dan daerah namun belum mampu terlaksana dengan massif di tataran grass root. Maka sebetulnya dalam IPM jika gerakan kritis transformatif ini ingin menjadi massif dan benar-benar menjadi gerakan yang dapat menjadi ruh kegiatan IPM dari Ranting hingga pusat, seharusnya pelatihan fasilitator dan proses perkaderan menjadi program utama yang harus dilakukan.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh IPM adalah grandstrategi yang jarang dijadikan acuan untuk pengembangan organisasi. Ini mungkin kelemahan yang juga sering terjadi di negara kita. Setiap pemimpin dalam setiap periode terkadang terjebak untuk menunjukkan pencapaian dan legacynya regardless terhadap pembacaan yang telah dilakukan generasi sebelumnya. Bukan berarti tidak ada grandstrategi, atau rencana pencapaian jangka panjang, karena jika kita lihat dalam keputusan dan rumusan materi di setiap Muktamar selalu ada pencapaian yang diharapkan dalam satu periode ke periode lainnya. Namun yang masih minim adalah bagaimana menerjemahkan target pencapaian tersebut ke dalam program kerja yang fokus, terukur, dapat dilakukan dan tergambar dalam waktu yang sangat sempit.
Satu kepempimpinan muktamar yang hanya 2 tahun, sebetulnya periode efektif untuk bekerja dan mendelivery issu muktamar hanyalah 15 bulan. Sisanya dilakukan untuk melakukan konsolidasi, mengadakan acara musyawarah tahunan rutin dan kunjungan ke wilayah dan kegiatan lainnya. Sementara bidang yang harus dikerjakan adalah 9 bidang, dengan berbagai kegiatan yang mesti dilakukan. Anda bisa bayangkan waktu seperti itu untuk melaksanakan banyak sekali program kerja. Belum lagi sumber dana yang tersedia sangat minim. Maka tidak heran apabila hal ini memaksa pimpinan untuk terpenjara dengan hal teknis namun terlupa dari hal–hal yang bersifat strategis dari pencapaian organisasi.
Maka perubahan nama, adalah sebuah awal untuk melakukan perubahan yang menyeluruh dari wajah gerakan. Dan ini tentu tidak mudah dan tidak bisa dilaksanakan dalam jangka waktu pendek. Perubahan yang menyeluruh harus meliputi perubahan ide diikuti oleh perubahan struktur dan ide gerakan, yang kemudian akan menumbuhkan budaya dan nilai organisasi yang aktual dalam praktek berorganisasi sesuai dengan yang dicita-citakan.
Agenda Terserak
Setelah perubahan nama, perubahan lain tentunya perlu diikuti agar perubahan ini memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi gerakan. Hal ini penting agar perubahan bisa dilakukan dengan lebih cepat sehingga selalu sesuai dengan tantangan yang sedang dihadapi. Jika tidak maka gerakan akan tertatih dan ditinggalkan oleh gerakan pelajar lain yang lebih muda dan baru, meskipun mungkin tidak memiliki filosofi yang kuat seperti yang dimiliki oleh IPM. Dalam persaingan menghadapi kompetitor-kompetitor inilah IPM harus bisa terus berinovasi untuk mengemas pola dan program gerakannya agar sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman serta kebutuhan dari konstituen utama IPM itu sendiri yaitu pelajar dan Muhammadiyah. Gagasan dan paradigma yang bagus saja tidak cukup namun harus diikuti dengan strategi pelaksanaan yang sesuai dengan karakteristik dari konstituen/kostumerIPM yaitu pelajar. Seperti di pasar siapa yang paling bisa memenuhi kebutuhan pasar dan memberikan nilai tambah dan sesuai dengan kebutuhan konsumen maka ia akan mendapatkan tempat di hati konstituen sendiri.
Maka menurut saya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh IPM agar tetap bisa terus menjawab kebutuhan pelajar, terutama terkait dengan perubahan nomenklatur ini:
Pertama, menegaskan paradigma gerakan yang telah dipilih. Sampai saat ini Gerakan Kritis Transformatif masih merupakan dasar gerakan IPM yang bagi saya khas dibanding gerakan pelajar yang lainnya. Namun pilihan ini kurang terlembagakan dengan baik dan tersosialisasikan dengan massifkepada seluruh aktifis gerakan. Pemahaman mengenai kesadaran kritis seharusnya menjadi pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap kader IPM di manapun. Dan ini lebih memungkinkan saat ini dengan adanya teknologi internet dan situs jejaring sosial. Wacana-wacana yang beredar di tingkat pusat dan wilayah bisa dengan mudah sampai kepada kader IPM di manapun, dengan cepat murah dan mudah. Namun perlu diperhatikan bahwa hal–hal yang detail pun bisa menjadi masalah. Misalnya gagasan yang besar dan rumit sekalipun harus coba disampaikan dengan bahasa yang sangat sederhana. Ingat konstituen IPM yang utama adalah mereka yang masih ada di sekolah menengah baik di SMP dan SMA sederajat. Sehingga penyajian gagasan harus dilakukan untuk bisa ditangkap oleh kelompok usia dalam rentang itu. Gerakan pelajar kreatif yang diketengahkan sekarang sejatinya adalah upaya untuk melakukan penyederhanaan dan kontekstualisasi gerakan pelajar kritis sesuai dengan kreatifitas pelajar yang menjadi basis utama gerakan IPM. Gagasan besar yang disampaikan dengan bahasa sederhana dan dalam bentuk yang kreatif sesuai dengan kondisi psikologis dan karakter basis gerakan IPM itu sendiri.
Hal ini juga harus didukung dengan penegasan dan penyesuaian pimpinan dengan basis gerakan. Dalam beberapa forum dengan organisasi pelajar lain baik di dalam maupun luar negeri, kita selalu dapat membanggakan ketika organisasi ini memiliki jaringan yang begitu luas, anggota yang banyak pencapaian lainnya. Namun terkadang agak sulit untuk menjelaskan ketika organisasi pelajar yang pimpinannya rata-rata mahasiswa dari sejak tingkat kabupaten/kotamadya. Alam pikiran, kematangan psikologis dan wawasan mahasiswa tentu berbeda dengan pelajar sekolah menengah. Hal ini tentu akan menimbulkan gapyang cukup luas antara pimpinan dengan anggota. Selama ini pengemasan dan perumusan ide gerakan selalu menemui kendala karena kesulitan implementasi di lapangan. Apakah konsep terlalu rumit atau terlalu berat, yang akhirnya sulit untuk di mengerti di tingkat grass rootdan menjadi tidak applicable. Salah satu ide yang muncul pada perumusan materi muktamar tahun 2010 tentang pembatasan usia pimpinan di tingkat PD untuk hanya seusia SMA saya pikir adalah ide yang cukup penting dalam konteks ini.
Kedua, melakukan penyederhanaan organisasi. Dengan waktu efektif yang hanya satu tahun lebih beberapa bulan (15 bulan) maka akan sangat berat untuk melaksanakan seluruh kegiatan bidang dalam waktu yang sempit. Disisi lain ini akan berpengaruh terhadap konsentrasi organisasi, karena banyak agenda namun waktu yang sempit, dan akhirnya pimpinan hanya akan terpaku untuk berpikir masalah-masalah teknis. Misalnya pendanaan kegiatan dan hal teknis yang lain. Ini mungkin terkesan sangat teknis sekali namun, dalam jangka panjang akan sangat berpengaruh. Devil is in detail, terkadang hal-hal kecil yang terlalu menyita waktu akan mengganggu pencapaian hal besar yang strategis. Karena itu perampingan organisasi akan sangat penting dilakukan. Fungsi-fungsi teknis yang lebih fokus ke issubisa diserahkan kepada lembaga-lembaga pembantu pimpinan yang bisa berkreasi untuk menggawangi satu issu khusus.
Pola yang pernah diterapkan pada masa M. Izzul Muslimin dengan mengembangkan beberapa lembaga seperti LaPSI, ALIFAH dan lembaga lainnya perlu dipertimbangkan ulang. Memang keberadaan lembaga tidak pernah benar-benar vakum dari IPM misalnya Kuntum selalu eksis dari sejak berdiri hingga sekarang, namun lembaga lain datang dan pergi, muncul dan tenggelam. Terkadang keberadaannya membantu terkadang juga membebani namun keberadaan lembaga semestinya lebih diprioritaskan sebagai strategi implementasi dari arah gerakan yang ingin dicapai. Dengan begitu maka pimpinan bisa fokus terhadap konsolidasi organisasi dan hal-hal lain yang lebih umum dan strategis.
Ketiga, melakukan inovasi dan kreasi dengan memaksimalkan multi media. Keberadaan website IPM selama ini terkadang tidak menjadi prioritas. Padahal dalam era sekarang keberadaan media interaktif yang bisa menjangkau sebanyak-banyaknya konstituen dan memiliki ruang lingkup yang sangat luas adalah maha penting. Terlebih lagi, generasi yang diampu oleh IPM saat ini adalah generasi Y. Generasi dimana penggunaan teknologi begitu dominan, IT savvy, dan ruang-ruang begitu sempit karena telah dipampatkan oleh internet dan website. Maka pemanfaatan teknologi ini pelu menjadi bagian dari strategi untuk menggerakkan dan menyampaikan gagasan-gagasan dari organisasi. Internet menjadi media informasi dan komunikasi yang penting.
Keempat, sinkronisasi dan merevitalisasi hubungan dengan stakeholderIPM yang lain selain anggota, dalam hal ini Dikdasmen, sekolah dan Muhammadiyah. Muhammadiyah telah memiliki visi Muhammadiyah 2025 yang akan menjadi grandstrategy Muhammadiyah selama seperempat abad yang akan datang. Visi ini menjadi bingkai gerakan persyarikatan secara keseluruhan dan menjadi petunjuk arah, kompas gerakan ini di masa yang akan datang. IPM sebagai salah satu bagian dari sistem ini semestinya melakukan sinkronisasi dan kontekstualisasi peran dan gerakannya dalam bingkai visi Muhammadiyah 2025. Peran IPM dalam sistem persyarikatan Muhammadiyah tentu sangat penting dan karenanya harus mendapatkan perhatian dan dukungan yang signifikasn untuk mencapai visi tersebut. Muktamar satu ke yang lain tidak berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan gagasan dan proses perjalanan organisasi menuju cita-citanya.
50 tahun adalah usia emas dan perjalanan sebuah organisasi adalah laksana sebuah kurva, dari kurva lembah menuju puncak. Mungkin di usia 50 IPM sudah pernah menyentuh kurva tertingginya, dan bisa jadi sekarang sedang menurun dan melandai menuju kurva yang mengarah ke bawah. Maka rethink, revitalize adalah sebuah siklus perjalanan sebuah gerakan agar tertap eksis, kontekstual dan mampu menjawab tantangan zaman.
Semoga Ikatan ini tidak pernah puas dengan pencapaiannya, sehingga selalu berpikir, berkreasi, berinovasi dan tetap kritis, progresif dan transformatif. Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah Deni Wahyudi Kurniawan, lahir di Garut, 3 Desember 1983. Pertama kali aktif di PR IRM Darul Arqam, tahun 1997-1999. Terpilih sebagai Ketua Umum PP IPM 2008 – 2010. Saat ini bekerja sebagai Program Development Officer untuk Indonesia Institute for Social Deveopment (IISD) terutama untuk program pengendalian tembakau.