Rekonstruksi SPI: Dari Elistisme Menuju Kolektivitas Ilmu

Rekonstruksi SPI: Dari Elistisme Menuju Kolektivitas Ilmu

OpiniOpini Pelajar
45 views
Tidak ada komentar
Rekonstruksi SPI: Dari Elistisme Menuju Kolektivitas Ilmu

Rekonstruksi SPI: Dari Elistisme Menuju Kolektivitas Ilmu

OpiniOpini Pelajar
45 views
Rekonstruksi SPI: Dari Elistisme Menuju Kolektivitas Ilmu
Rekonstruksi SPI: Dari Elistisme Menuju Kolektivitas Ilmu

Saya sedang duduk di KRL dari Jogja menuju Solo ketika melihat pesan dari Wildan Azzam, Ketua PW IPM Jawa tengah Bidang Perkaderan, di grup Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PW IPM) Jawa Tengah. Azzam mengirim tulisannya bertajuk “Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?” Sembari menunggu kereta sampai di Solo. Sedap rasanya tulisan ini untuk dibaca. Apalagi berbicara rekonstruksi SPI yang sedang naik daun bak artis lagi viral-viralnya. Pas sekali, sebentar lagi akan ada agenda Muktamar.

Kesan pertama soal Sistem Perkaderan IPM (SPI), membawa saya untuk turut memikirkannya. Dalam beberapa kesempatan, saya turut menjadi bagian dari partisipator agenda membahas SPI. Pertama, Seminar Lokakarya Nasional (Semiloknas) di Jakarta. Kedua, lokakarya nasional di Kendari, sewaktu agenda Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama (PKPTMU). Muncul dalam benak saya, apakah memang SPI ini menjadi agenda 10 tahunan untuk diubah? Atau memang ini menjawab kebutuhan dan urgensi pergerakan? Saya menangkap beberapa hal yang disampaikan Azzam selaku Ketua Bidang Perkaderan JawaTengah. Ciamik bahasanya, berkualitas tulisannya, dan konstruktif pemikirannya.

Ia menyampaikan beberapa pemikirannya. Pertama sejarah evolusi SPI. SPI berubah seiring berjalannya waktu menyesuaikan realitas zaman. Bermula dari SPI Merah sampai SPI Kuning. Sampai kini ada SPI Putih yang sedang digagas Bidang Perkaderan PP IPM yang dinahkodai Ganis. Kedua, Ia berbicara karakteristik SPI. Tentu memiliki corak masing-masing sesuai rezim, kebutuhan, dan ciri perkaderan zaman. SPI Putih digagas dengan corak Maqashid Syariah, Maslahah Mursalah, dan Kepemimpinan Berdampak. Ketiga, keresahan elitisme SPI. Ia menuturkan masalah utama rekonstruksi SPI adalah prosesnya dikendalikan elit pusat, yang seringkali tidak menyentuh akar rumput cabang/ranting. Sehingga, luarannya akan terlalu teoritis. Bisa sulit diterima, hanya formalitas, bahkan sekadar rebranding tanpa adanya implementasi yang riil. Terakhir, usulan yang membangun. Azzam mengusulkan bahwa SPI mesti disusun lebih demokratis. Harus berbasis penelitian kebutuhan kader. Mencakup seluruh lini pimpinan, sampai ranting. Agar SPI tidak elitis, tapi real transformatif.

Alarm Penting

Tulisan “Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?” menjadi alarm penting bahwa ada krisis partisipasi kader dan keterlibatan pimpinan di level bawah dalam menyambut reskonstruksi SPI ini. Ada pesan untuk mengajak seluruh kader IPM Se-Indonesia untuk betul memikirkan perubahan ini. Ini menjadi tanggung jawab bagi semua semua. Perubahan ini akan membawa roda organisasi pada kurun waktu yang panjang. Tidak sebentar dan tidak boleh main-main.

Rekonstruksi SPI bukan sekadar bahan administratif atau wacana struktural, tapi harus menjadi fenomena intelektual yang berangkat dari dialektika, need assessment kader, transformasi zaman, dan tidak kalah penting, orientasi ideologis IPM itu sendiri. Saya ingin menyuarakan rekonstruksi SPI jangan sampai dan tidak boleh eksklusif elitis, harus menyentuh ranah grassroot. Juga harus mampu membawa nilai keilmuan yang berangkat dari seluruh kader IPM di Indonesia.

SPI Berbasis Ilmu

Terdapat beberapa pertanyaan kritis yang musti dilontarkan dari adanya perubahan SPI ini: Sudahkah perubahan SPI saat ini dibangun atas dasar riset ilmiah yang kohesif-komperehensif? Atau hanya berahim dari elitis yang menjual nama ideologis organisasi? Bila sudah berdasar riset, di mana kami sebagai kader IPM bisa melihat riset ilmiah tersebut dan percaya?

Berporos keilmuan, perlu ruang validasi terhadap arah orientasi SPI. Kesadaran kolektif mesti dibangun untuk memantau dan memastikan perubahan ideologis dan metodologis IPM sudah diuji secara empiris-akademis. Bukan berhenti pada musyawarah formal dan forum elit semata.

Ilmu dan data menjadi landasan awal dalam menyusun sistem perkaderan yang relevan. Data adalah kebutuhan paling penting. Tanpa berbasis kajian ilmiah, SPI hanya akan berwujud simbol yang bebal untuk dibumikan ke ranah cabang dan ranting.

Konstruksi SPI dari Akar: Nafas Partisipatif dan Kolektif

Realitas lapangan harus menjadi denyut nadi pertama dalam mengawali rekonstruksi SPI. Waktu yang harus melibatkan ranting, cabang, sampai daerah sebagai subjek dan objek aktif dalam proses keilmuan penyusunan SPI.

Jawa Tengah melalui bidang perkaderan sudah menunjukkan antusiasmenya dalam menggagas SPI Putih lewat ruang diskusi bertajuk “Ngaji SPI Putih”. Berbicara mulai dari paradigma, falsafah perkaderan, pelatihan, dan fasilitator.

Namun, adakah Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan pimpinan pusat seperti Ngaji SPI Putih ini? Saya hanya melihat forum terbuka untuk materi Muktamar. Atau memang hanya forum seminar dan lokakarya nasional saja? Lintas wilayah, daerah sampai bawah, bagaimana? Dan sudahkah riset sosial terhadap praktik perkaderan di berbagai wilayah dan level?

SPI tidak boleh tersusun dan hadir sebagai gapura saja. Ia musti menjadi hasil mutakhir yang berangkat dari kolektivitas intelektual kader IPM dari berbagai lini dan spektrum pengalaman. Maka, seluruh bidang dan seluruh kader IPM harus menjadi laboratorium gagasan, bukan hanya sekadar penggembira diskursus.

SPI sebagai Warisan Intelektual

Bila SPI terus tereduksi menjadi hasil atau dokumen struktural belaka, maka IPM bisa saja kehilangan arah mata angin. Kehilangan salah satu komponen krusial untuk mengonsolidasikan ideologi gerakan. Saya memiliki usul agar arah mata angin itu tidak hilang, yakni SPI mesti disusun berdasarkan siklus ilmiah yang utuh: research-implementation-evaluation-development. Tidak berhenti pada dokumen kerja, tapi lebih dari itu. Menjadi naskah akademik kaderisasi yang diwariskan lintas periode, terus dikaji lintas zaman, dan lintas pimpinan.

Sebagai penutup, rekonstruksi SPI adalah momentum. Tetapi, momentum ini harus betul-betul dirasakan oleh seluruh kader IPM di berbagai penjuru. Tidak boleh berpihak pada elit semata. Tidak boleh hanya untuk kepentingan sekelompok, tapi harus berdasarkan kebutuhan seluruh kader IPM.

Sudah waktunya rekonstruksi SPI berawal dari bawah: berdasarkan partisipasi akar, ilmu, dan sekali lagi kebutuhan riil kader. Saatnya SPI hadir milik kolektif kader, bukan hanya sekadar narasi pusat.

  • Penulis adalah Rezza Pahlevi, Ketua PW IPM Jawa Tengah Bidang PIP Periode 2023-2025. Keep in touch with Rezza di akun Instagramnya: @rezzafa_
  • Substansi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Malam Puncak Semarak Milad ke-64, IPM DIY Soroti Peran Pelajar Sebagai Agen Perubahan
Jurnalis Muda Perkuat Advokasi Anti-Iklan Rokok dalam Diskusi Meja Bundar
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.