IPM.OR.ID., KENDARI – Teori tanpa praktik tidak lah cukup. Oleh karenanya, seluruh peserta yang tergabung dalam kegiatan Sekolah Literasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) berkunjung ke Rumah Baca Firza di Kendari, Sulawesi Selatan, pada Jumat (03/06/22). Total 19 peserta berkunjung dalam rangka belajar dan berdialog kepada Firman A.D. dan Zakiyah, pasangan suami-istri yang mendirikan Rumah Buku Firza mengenai best practice pembuatan, pengelolaan, dan pengembangan rumah baca yang eksis di Kendari tersebut.
“Betul. Rumah Buku Firza ini merupakan singkatan dari nama kami, Firman dan Zakiyah,” jelas Firman ketika mengawali dialog.
Sudah sejak lama Rumah Buku Firza menjadi tempat berkumpul bagi pegiat literasi. Menurut keterangan Firman, ada banyak komunitas di Kendari yang menjadikan ‘rumah’ ini menjadi basecamp. Diantaranya yaitu KBBA (Kelompok Baca Bersama Anak), OBAT MANJUR (Orang Hebat Main Jujur), dan NARASI yang bergerak di bidang agama dan toleransi.
Peserta yang hadir di dalam Rumah Buku Firza terlihat sangat antusias mendengar cerita yang dipaparkan oleh Firman dan Zakiyah. Salah satu peserta, Saki dari Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Kota Malang turut penasaran mengenai bagaimana Rumah Buku Firza bisa bertahan. Terutama ketika berbicara mengenai darimana buku-buku tersebut didapatkan.
“Kalau dulu, setiap bulan tanggal 17 kami di-drop beberapa buku. Tetapi memang, gak berlangsung lama hanya beberapa tahun,” jelas Firman. “Mendirikan Rumah Buku Firza ini tentu bukan pekerjaan yang sederhana. Sempat berpikir bagaimana agar komunitas ini bertahan. Akhirnya saya berjualan, di dalam ada buku yang untuk dibaca dan dijual,” lanjut Firman.
Menurut keterangan Firman, usaha berjualan buku ini dilakukan dalam rangka menghidupi komunitas dan Rumah Buku Firza. Usaha ini sudah berjalan dua tahun. Penerbitan Rumah Buku Firza itu bahkan juga sudah menerbitkan tiga buah buku.
“Buku saja awalnya hanya satu lemari. Itu pun gabungan dari buku saya, suami, dan mertua,” tambah Zakiyah.
Dialog dan tanya jawab antara peserta dengan Firza (Firman dan Zakiyah) pun berlangsung. Dalam kesempatan itu, Firman turut membagikan beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam membuat rumah baca. Menurut Firman, pertama, harus meluangkan waktu. Kedua, meluangkan dana. Ketiga, meluangkan pikiran; dan keempat, meluangkan tenaga.
“Mendatangkan buku, meminta bantuan dari donatur-donatur buku, itu perlu kesabaran. Itu pun harus membangun jaringan,” tambah Firman.
Tak kalah menarik, Zakiyah juga turut memberikan pandangannya mengenai upaya melanggengkan rumah buku berbasis komunitas. Menurut Zakiyah, dalam membangun dan membesarkan komunitas atau rumah buku, selain memiliki kemampuan untuk mengelola, kita juga harus memiliki kemampuan menggerakkan.
“Ketika kita sudah punya sumberdayanya, bukunya, orangnya, tempatnya, tetapi kita gak punya daya untuk menggerakkan maka kita juga tidak akan kemana-mana,” jelas Zakiyah.
Merespon itu, salah satu peserta Sekolah Literasi PP IPM dari Sulawesi Selatan, Zul Jalali Wal Ikram, bertanya apakah keamanan dari buku-buku terjaga karena diletakkan di luar, jauh dari pengawasan.
Sambil diiringi senyuman, Firman menyebut bahwa sejauh ini belum ada kasus buku-buku dalam Rumah Buku Firza dicuri atau mengalami kehilangan.
“Kalau buku saya diambil sih saya pasrah, ya. Berarti dia baca,” balas Firman. Sontak seisi ruangan tertawa.
Aktivitas literasi adalah salah satu hal yang penting sebagai upaya membangun kualitas sumber daya manusia. Oleh sebabnya, semakin banyak orang yang peduli dengan literasi, semakin baik pula upaya pemberdayaannya. IPM harus hadir dalam ruang tersebut. Berbekal pengalaman terjun lapangan ini, peserta Sekolah Literasi PP IPM nantinya akan diharapkan agar menjadi agen-agen literasi di daerahnya masing-masing.*(iant)