IPM.OR.ID., DENPASAR – Isu mengenai lingkungan hidup, terkhusus soal perubahan iklim dikaji secara serius oleh tiga narasumber yang hadir dalam rangkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IPM 2021 bernama Indonesian Youth Climate Action pada Sabtu (11/12/21). Kegiatan ini diselenggarakan secara hybrid dimana secara luring dilaksanakan di Hotel Kuta Central Park, Denpasar, Bali, dan secara daring diselenggarakan melalui teleconference zoom meeting.
Kegiatan ini dipandu dengan ciamik oleh Siti Ulfah Fadilah (Bidang Lingkungan Hidup PP IPM) selaku moderator. Adapun dalam kegiatan ini turut hadir sebagai narasumber Herni Ramdlaningrum (Aktivis dan Peneliti Gender dan Iklim), Nana Firman (Greenfaith), dan As Rosyid (Penulis dan Pemerhati Lingkungan).
Herni Ramdlaningrum selaku aktivis dan peneliti Gender dan Iklim membuka diskusi dengan menampilkan video singkat berdurasi satu menit berisikan studi kasus pembangunan PLTU yang terjadi dimana hal tersebut merugikan masyarakat dengan adanya asap, debu, dan maraknya kehilangan pekerjaan dari masyarakat lokal. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Herni mencoba untuk mengilustrasikan bahwa perubahan iklim itu nyata terjadi yang salah satunya terjadi karena ulah manusia. Dan dalam hal ini, menurut Herni hal tersebut sedikit banyak disebabkan oleh industri.
Lebih lanjut, Herni memaparkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 90% pelajar menyatakan tahu tentang perubahan iklim global. Sedangkan itu 60% pelajar mengaku mengikuti cara yang berkelanjutan. Sayangnya, hal tersebut tidak diiringi dengan kontribusi yang dilakukan.
“Berdasarkan studi terkait, pelajar dinilai tampak antusias untuk berkontribusi tetapi tidak tahu bagaimana cara berkontribusinya,” jelas Herni. Menurut Herni, keterlibatan pelajar harus didorong dengan menjadikan perlidungan lingkungan sebagai peluang kerja dimana ada nilai socio-economic di dalamnya.
Tak kalah menarik, Nana Firman selaku narasumber dari Greenfaith, USA, menyebut bahwa bumi itu diciptakan Allah hijau dan indah, dan manusia merupakan khalifah yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi tersebut. “Indonesia adalah negara yang kaya dan oleh karenanya this is (tanggung jawab menjaga lingkungan) is on your shoulder,” tambah Nana.
Nana lebih lanjut juga mencoba untuk memberikan informasi kepada para peserta diskusi bahwa apapun yang kita lakukan di bumi ini memiliki dampak, terutama pada lingkungan. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan hal tersebut ialah ecological footprint. Banyaknya jejak ekologi atau ecological footprint pada manusia mengindikasikan manusia belumlah mempraktikkan secara maksimal ayat yang menerangkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi.
Pemaparan oleh As Rosyid selaku penulis dan pemerhati lingkungan turut memperkaya perspektif pada kegiatan malam hari ini. Rosyid mencoba membedah isu lingkungan dari sudut pandang masyarakat adat.
“Kita harus berterima kasih kepada masyarakat adat, terutama kepada meraka yang masih memiliki ritme hidup tradisional. Karena apa? Karena mungkin hutan-hutan terakhir, sumber-sumber air terakhir, pengetahuan-pengetahuan lokal terakhir, itu mereka yang jaga,” ujar Rosyid.
Lebih lanjut, Rosyid berpesan agar IPM bisa berkontribusi aktif dalam mengawal agar kebijakan pembangunan tidak mengganggu lingkungan hidup masyarakat adat sehingga tidak mengganggu kebutuhan hayatnya. Ia juga berpesan agar IPM menggalakkan kajian yang dapat membantu masyarakat luas agar bisa mengontrol egonya dalam upaya mengendalikan lingkungan.*(iant)