Menurut Eriz Plutzer dalam tulisannya Becoming a habitual voter: Inertia, resources, and growth in young adulthood (2002) keterlibatan politik di masa remaja dan dewasa merupakan prediktor yang kuat untuk memperdiksi keterlibatan politik di masa depan. Dengan kata lain, masa depan ditentukan oleh anak muda atau milenial, bukan lagi mitos atau sebatas dongeng sebelum tidur. Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi bonus demografi dengan populasi milenial (21-36) mencapai 63,5 Juta orang pada tahun 2020.
Harapan besar publik terhadap milenial semakin besar setiap tahunnya. Saking besarnya, setiap kali pemilihan umum para kandidat/calon mengidentifikasi dirinya sebagai milenial. Terakhir, presiden Joko Widodo membentuk tim khusus yang diberi nama Staf Khusus Milenial. Wajar jika pada akhirnya mata publik senantiasa mengawasi para stafsus milenial.
Semacam perjudian, jika stafsus itu berhasil maka setiap anak muda di Indonesia memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam pemerintahan, tetapi seandainya mereka gagal maka adagium para sesepuh itu kiranya benar bahwa terlalu dini untuk masuk politik dan milenial lebih baik mengurus dirinya sendiri, sekolah yang benar, berbakti pada orang tua, dan lain-lain. Pokoknya gak usah masuk politik.
Stafsus Milenial: Betulkah Wujud Keterwakilan Milenial?
Tulisan ini bukan tentang 7 orang yang diperkenalkan. Ini tentang kita. Tentang pertaruhan setiap anak muda di Indonesia. Saat ini ada banyak organisasi kepemudaan di Indonesia, dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) setidaknya terdapat 132 organisasi kepemudaan.
Beberapa nama mungkin cukup familiar seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKRI), Perhimpunan Mahasiwa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharman Indonesia (KMHDI), dan 123 organisasi kepemudaan lainnya.
Di sisi lain, Presiden Jokowi membentuk staf khusus milenial yang diyakininya bisa membantu kelancaran pelaksanaan tugas Presiden dalam berkomunikasi dengan kelompok strategis sekaligus menjadi teman diskusi Presiden. Diantaranya Andi Taufan Garuda Putra (CEO Amartha), Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan Sabang Merauke), Adamas Belva Syah Devara (Pendiri Ruang Guru), Billy Gracia Yosaphat Mambrasar (Peraih beasiswa kuliah di Oxford), Putri Indahsari Tanjung (CEO dan Founder Creativepreneur), Angkie Yudistia (Pendiri Thisable Enterprise) dan Aminuddin Maruf (Mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia/PMII).
Sepintas, pengangkatan 7 orang milenial sebagai staf khusus presiden merupakan perwujudan dari keterwakilan milenial dalam politik, atau setidak-tidaknya didasarkan pada kebutuhan presiden atas aspirasi kelompok milenial. Namun, genap 1 tahun pasca dilantiknya stafsus presiden, tercatat setidak-tidaknya ada tiga kasus.
Barangkali kita masih ingat seorang staf khusus yang menerbitkan surat berkop istana negara yang dialamatkan ke kecamatan di seluruh Indonesia yang beririsan dengan perusahaan rintisannya. Kemudian Staf Khusus yang lain diduga terlibat konflik kepentingan dengan program Presiden itu sendiri perihal kartu Prakerja. Dan yang terakhir, salah seorang staf khusus berulah lagi dengan menerbitkan surat intruksi kepada beberapa ketua dewan mahasiswa untuk menghadiri pembahasan UU Ciptaker yang telah dikonfirmasi oleh Ombudsman bahwa penerbitan surat itu maladministrasi.
Menariknya, disaat sejumlah organisasi kepemudaan menjaga idealismenya ditengah sulitnya mencari anggaran untuk menunjang pergerakan mereka, misal dengan mengajukan proposal, melakukan audiensi atau bahkan gontok-gontokkan di KNPI. Justru 7 staf khsusus milenial justru digaji tinggi, yang berdasarkan PP 144/2015 sebesar 51 Juta/bulan. Artinya, mereka tidak perlu melakukan usaha-usaha yang dilakukan oleh organisasi kepemudaan, sebab mereka mendapat privilege terutama dalam bagian anggaran. Negara sudah menganggarkan staf khusus milenial untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kolaborasi dan Harapan
Just imagine, bagaimana jika stafsus milenial dengan dan pengalaman luar biasa baik dalam negeri maupun luar negeri bekerja sama dengan organisasi-organisasi kepemudaan yang ada, yang masih senantiasa memegang idealismenya. Kira-kira kolaborasi dan kerjasama apa yang dapat dihasilkan? Republik seperti apa yang hendak dibangun? Dan kejayaan masa depan seperti yang dapat dicapai? Ah itu luar biasa, seandainya tidak sekadar khayalan.
Namun kenyataannya, sebagai bagian dari organisasi kepemudaan, kita justru bingung bagaimana mendapatkan perhatian mereka layaknya sang adik. Mungkinkah kita harus merengek meminta untuk didengarkan? Tidak bisakah kita mengetuk pintu staf khusus milenial untuk dapat menjalin hubungan, koordinasi, sampai pada titik berkerja sama. Kehadiran staf khusus tentu akan menjadi mitra strategis organisasi kepemudaan dalam upaya pemberdayaan milenial.
Apa mungkin organisasi kepemudaan memang perlu mendobrak pintu staf khusus supaya aspirasi milenial dapat didengarkan? Sesulit itukah menyampaikan aspirasi terhadap sesama milenial? Atau jangan-jangan, stafsus yang dipilih memang tidak terbiasa untuk mendengar dan tidak difungsikan untuk mendengar?
Betul memang dan tanpa perlu diragukan, kualitas dan pengahasilan dari 7 stafsus milenial pantas menjadi role model milenial Indonesia. Tetapi, satupun dari mereka tidak ada yang mengingat substansi utama demokrasi, yakni aspirasi dan keterwakilan. Alih-alih mendengar aspirasi mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi, turun ke jalan atau setidaknya membantu para mahasiswa yang ditangkap polisi, salah satu stafsus milenial malah mengundang mahasiswa yang bukan aktor utama demonstrasi? Lantas aspirasi mana yang didengar?
***
Sekarang kita sampai di akhir, apakah stafsus milenial harus dibubarkan? Nah, bagian ini saya pikir berbeda dari kebanyakan opini yang beredar. Tentu ditengah-tengah perjudian ini, mengalah bukan pilihan. Bukan hanya karena kita kalah, tetapi sejarah akan mencatat bahwa “lain kali jangan paksakan anak muda masuk politik atau mendapatkan jabatan, mereka tidak layak,” setidak-tidaknya itulah yang akan dicatat sejarah, bukankah kita tidak mau mengamini itu?
Saya sebagai bagian dari anak muda yang juga ikut mengambil bagian dan bejuang di salah satu organisasi kepemudaan yakni IPM, menolak itu. Saya pikir kita mesti terus berjuang, berteriak kencang, memaksa mereka untuk mendengarkan, mengajukan nama-nama milenial yang lain agar menduduki posisi sebagai stafsus atau jika perlu kita harus mendukung orang-orang terbaik untuk mewakili milenial.
Karena bagaimana pun, kita mesti saling berkolaborasi, bukan hanya antara organisasi kepemudaan yang penuh idealisme dan mining anggaran tapi juga dengan wakil kita, yaitu stafsus milenial.
*) Catatan:
- Penulis adalah Hilal Fathurrahman Ketua PP IPM Bidang Kajian dan Dakwah Islam
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
1 Komentar. Leave new
[…] Mengutip ulama Muhammadiyah Prof. Dr. Hamim Ilyas menyatakan untuk menjadi a learning community, dibutuhkan orang yang memiliki pengetahuan secara komprehensif (berwawasan bidang kehidupan), kohesif (utuh dan terpadu), praktis (bisa dilaksanakan), terukur, dan fungsional (meninggikan peradaban). Itulah kualifikasi yang harus ada pada staf khusus milenial jika milenial ingin menjadi masyarakat pembelajar. Maka tulisan ini menyambung tulisan sebelumnya tentang stafsus milenial (https://ipm.or.id/disfungsi-staf-khusus-milenial-jokowi-harapan-yang-menjadi-sorotan/) […]