Di dalam kontestasi keorganisasian, Ikatan Pelajar Muhammadiyah selalu menjadi organisasi pelajar yang terus kritis dan reaktif terhadap segala permasalahan zaman yang terus bermunculan. Dengan adanya salah satu bidang yang dituntut untuk bisa menggarap segala permasalahan dan memberikan solusi yang efektif untuk menyelesaikannya, yaitu Bidang Advokasi. Ada juga bidang yang tak kalah penting dari Bidang Advokasi, yaitu Bidang Perkaderan. Bidang Perkaderan pada zaman ini dituntut untuk bisa menyajikan pengkaderan-pengkaderan yang memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi bagi para objek di lapangan. Bidang Perkaderan tak cukup rasanya jika hanya menyajikan pengkaderan-pengkaderan simbolik yang dilakukan dalam kurun waktu satu periodenya.
Dan semua hal yang disebutkan diatas niscaya tidak akan pernah termanifestasikan dengan baik, apabila para kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah tak memiliki dasar berpikir yang jelas. Ikatan Pelajar Muhammadiyah sudah memiliki paradigmanya. Dalam dinamikanya, Ikatan Pelajar Muhammadiyah memiliki tiga paradigma yang diakui eksistensinya, yaitu :
- GKT (Gerakan Kritis Transformatif)
- GPK (Gerakan Pelajar Kreatif)
- GPB (Gerakan Pelajar Berkemajuan)
Ketiga paradigma di atas lahir sesuai dengan keadaan zaman yang dihadapinya. Saran penulis, untuk mengetahui lebih rinci tentang ketiga paradigma tersebut bisa kalian bisa baca Buku Ideologi IPM terbitan PP IPM, bisa juga download e-booknya di laman website resmi PP IPM atau yang memiliki smartphone bisa mengunduh aplikasi IPM yang sudah di perbarui oleh PP IPM.
Sebenarnya, penulis tidak akan menjelaskan tentang ketiga paradigma di atas. Melainkan, penulis akan membuat satu interkoneksi antara sub-pemikiran IPM dengan buah pemikiran Edward De Bono dalam bukunya yang berjudul, “Berpikir Lateral.”
Dalam segi praktisnya, kita selalu bertindak dan mengambil keputusan secara tergesa-gesa, itu disebabkan oleh tidak adanya sub-pemikiran yang seharusnya menjadi model berpikir dari masing-masing individunya. Dalam segi teorotisnya, kita terlalu abstrak memilih dan memilah landasan normatif yang menjadi dasar dalam tatanan praktisnya. Oleh karena itu, ada dua cara berpikir yang patutnya kita ketahui bersama.
Pertama, ada yang disebut dengan berpikir vertikal. Kedua, ada yang disebut dengan berpikir horizontal.
Berpikir vertikal, secara epistemologis metode ini adalah metode berpikir yang menghendaki seseorang untuk berpikir dengan satu jalan dan harus mengenyampingkan jalan yang tidak relevan dengan jalan yang sudah ditentukan. Metode ini bersifat selektif, seluruh hal yang diterima oleh seseorang harus melalui proses filtrasi terlebih dahulu.
Dalam metode ini, seseorang dihipnotis untuk bisa meyakini bahwa suatu jalan memiliki keniscayaan atau kebenaran yang absolut. Pada metode ini, seseorang dituntun untuk senantiasa bergerak dengan arah yang sudah ditentukan. Ketika datang arah lain ditengah jalan, seseorang itu harus bersikap bodo amat dengan arah baru yang datang dan harus senantiasa memprioritaskan arah yang sudah di tentukan.
Metode ini pun sangat analitis, dengan adanya filtrasi tersebut, seseorang dituntut untuk bisa kritis dan jeli terhadap suatu hal yang masuk ke dalam pikirannya. Dalam menggunakan metode berpikir ini, seseorang dituntut untuk dengan sistematis atau berurutan, tidak boleh melewati satu tahapun yang sudah dipersiapkan. Adapun visualisasinya seperti ini:
Pada metode ini, ada hal negatif yang muncul, yaitu seseorang akan terus didikte agar menutup jalan tertentu yang tidak relevan dengan jalan yang sudah ditentukan.
Berpikir lateral, secara epistemologis metode ini adalah metode berpikir yang menghendaki seseorang untuk berpikir dengan banyak jalan tanpa adanya proses pemilihan dan pemilahan atau filtrasi yang dilakukan. Metode ini bersifat generatif yang artinya mengembangkan segala hal yang masuk ke dalam pikiran seseorang tanpa mendiskreditkan satu hal pun.
Dalam metode ini, dirasa lebih ramah untuk semua hal yang akan memasuki alam pikiran seseorang. Bisa dikatakan, dalam metode ini berlaku hukum satu rasa, satu jiwa, dan satu raga. Dalam metode ini, seseorang dibebaskan bergerak tanpa harus melakukan filtrasi terlebih dahulu, karena tujuan akhir dari metode ini adalah bergerak untuk menciptakan arah bukan untuk mengikuti arah.
Metode ini bersifat provokatif, seseorang mau atau tidak mau harus siap menerima resiko yang akan dialaminya ketika menggunakan metode ini. Dalam praktisnya, seseorang yang menggunakan metode ini bergerak tidak tersistematis atau tidak berurutan mengikuti arah. Akan tetapi, seseorang itu akan membuat lompatan yang tidak biasa, adapun visualisasinya seperti ini:
Dalam metode ini, tidak ada usaha untuk menutup berbagai macam hal yang masuk ke dalam alam pikiran seseorang. Dalam hal ini, sangat menyambut baik hal atau terobosan yang baru.
Ringkas penulis, IPM tidak mesti memilih salah satu dari kedua metode berpikir yang ada diatas. Tetapi, IPM tetap menjaga stabilitas dari keduanya. Memilih hal yang terbaik dari kedua metode tersebut. Bukan hanya memilih, tetapi bisa memanifestasikannya dalam mewujudkan cara berpikir yang baik dan benar. Dan yang terpenting, IPM harus bisa mengejawantahkan cara berpikir dalam bentuk pergerakan yang pasti harus berkesan. Bukan hanya hal selebratif saja, tetapi terus memperhatikan hal elaboratifnya.
Mungkin cukup untuk kali ini, maaf bila masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, kritik dan saran sangat diharapkan penulis untuk terus memperbaiki diri.
Nuun WalQolami Wamaa Yasthuruun
*Catatan
- Penulis adalah Izzan Faruqy, PR IPM Darul Arqam Putra
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis
1 Komentar. Leave new
Apakah, ideologi IPM dalam konsep pembelajaran Kemuhamdiyahan itu sudad ada