Empirisitas di dalam diri manusia merekonstruksi paradigma dalam membaca kehidupan. Kita sebagai manusia (makhluk spesial) membentuk sebuah sejarah dalam entitas waktu dengan cara berinteraksi secara sosial satu dengan lainnya. Tulisan ini bukan untuk menunjukkan bahwa saya merupakan yang paling “tahu”, atau yang paling “senior”, atau bahkan yang paling “memahami.” Saya sama dengan anda, kalian, kita hanya manusia yang memiliki empirisitas di dalam diri kita sebagai wujud makhluk spesial (berakal).
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi yang saya kumpulkan dari penggalian empirisitas di dalam diri saya. Pemaknaan dan interpretasi bahkan hasil akhir dari empirisitas kita mungkin dan sangat mungkin berbeda. Hal ini membentuk identitas diri sebagai keotentikan diri. Hanya untuk kepentingan berbagi hasil renungan kepada pembaca tulisan ini. Peradaban dalam diri saya sebagai mikrokosmos selama menjadi anggota, pimpinan dan kader IPM dari ranting sampai sekarang tertuang di dalam sepuluh poin penting yang harapannya menjadi sebuah nasehat atau pengingat bagi saya pribadi dan kita semua.
Pertama, Selalu Mengingat Bahwa IPM Merupakan Gerakan Keilmuan
IPM dalam sejarah, dilahirkan dengan latar belakang dinamika keilmuan yaitu menangkis hegemoni paham komunisme. IPM dengan dua ayat pertama surat al-Qalam, meneguhkan dirinya sebagai perkumpulan berghirah keilmuan. IPM menelaah dunia dengan sebuah rumusan paradigmatik yaitu “gerakan pelajar berkemajuan: paradigma gerakan ilmu,” mendeklarasikan diri sebagai gerakan pelajar “tulen.” Ini merupakan beberapa argumentasi tekstual yang mendukung jati diri IPM sebagai gerakan para manusia muda yang berpikir dan membuat manifestasi dari pemikirannya. Sangat jelas argumentasi-argumentasi ini sehingga pemaknaan IPM sebagai gerakan keilmuan harus selalu tertanam di dalam diri kita selaku pimpinan IPM. Hal ini bukan merupakan doktrinasi yang mengekang kehendak bebas kita. Ini merupakan kesadaran yang harus kita miliki sebagai pimpinan IPM yang setuju dengan tujuan IPM.
Oleh sebab itu, naif terasa apabila terdapat pimpinan IPM yang latah dalam menghadapi fenomena. Naif terasa apabila terdapat pimpinan IPM yang miskin akan ghirah membaca dan menulis. Naif terasa apabila terdapat pimpinan IPM yang menjabat dengan motivasi “ikut-ikutan” tanpa kerangka berpikir yang meneguhkan diri sebagai pimpinan. Naif terasa apabila dinamika perpolitikan (perebutan kekuasaan) pimpinan IPM dibumbui dengan ego primordial yang menghilangkan persangain wacana dan bukti kinerja antar pimpinan.
Kedua, Mengelola Keuangan IPM dengan Bijak
Keuangan di dalam organisasi dianggap sebagai sebuah ruang yang riskan untuk dimasuki. Hal ini menyebabkan ruang yang tersedia tersebut sering kosong. Ruang kosong tersebut menyebabkan seseorang sangat mudah untuk masuk dan melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Sehingga, ruang kosong tersebut harus kita isi agar tidak semua orang bebas masuk dan melakukan segala hal yang tidak diinginkan.
Ruang yang kosong tersebut harus mulai kita isi dengan merubah pola pikir dan kebiasaan sosial kita dengan tidak menganggap keuangan sebagai hal yang riskan untuk diketahui dan dibicarakan. Keuangan seharusnya menjadi bahan diskusi yang strategis di dalam IPM. Karena keuangan merupakan pondasi yang menumbuhkan profesionalitas di dalam sebuah organisasi. Namun, keuangan juga menjadi godaan yang sangat menggiurkan bagi para pimpinan yang terbuai oleh kemudahan mendapatkan pundi-pundi rupiah dengan organisasi sebagai kendaraannya.
Mengisi ruang kosong dalam konteks keuangan merupakan perumpa makna dari sikap transparansi. Transparansi dalam bidang keuangan menjadi sebuah keharusan organisasi di era sekarang. Pemerintah sudah mencontohkan dengan sistem e-budgting, sistem ini memungkinkan sebuah transparansi yang mana masyarakat dapat langsung menjadi supervisor pemerintah dalam alokasi keuangan negara. Sistem seperti ini sudah diterapkan di DKI Jakarta. Lalu bagaimana dengan IPM?
Sebuah transparansi dalam bidang keuangan akan mendorong pimpinan IPM untuk mengelola keuangan lebih bijak. Selain itu, kita tidak perlu menunggu sistem tersebut terwujud. Namun kita harus memulai dari diri kita sebagai pimpinan untuk bijak dalam mengelola keuangan IPM dan juga mewujudkan sistem transparansi ini.
Kebijakan dalam mengelola keuangan bukan hanya menjadi tanggung jawab bendahara pimpinan, namun menjadi tanggung jawab seluruh pimpinan. Bendahara hanya memiliki peran fungsionalis sebagai pengelola utama keuangan. Kita sebagai pimpinan memiliki peran dalam mengusulkan anggaran, bahkan sampai dengan tahap membelanjakan anggaran yang ada. Semua kegiatan keuangan harus dilakukan secara kolaboratif antar pimpinan.
Keuangan IPM juga harus ramah dalam bidang keilmuan dan petkaderan. Harus ada alokasi dana untuk perkaderan berkelanjutan. Harus ada alokasi dana untuk penerbitan buku dan usaha literatif lainnya. Bahkan IPM harus memberikan alokasi dana khusus dalam bidang penelitian. Penelitian dan pengembangan teknologi menjadi pembahasan yang cukup hangat di Muktamar XXI lalu. Hal ini menunjukkan kesadaran para kader IPM dalam bidang keilmuan dan perkembangan sosial masa kini.
Saya pribadi sangat sering mendengar dan mengalami bahwa mencari sumber dana yang mengalir itu sangat sulit. Seperti menggali sumber air di padang pasir. Hal ini terjadi karena IPM sekarang masih tergantung dengan dana instan dari ayahanda Muhammadiyah, amal usaha Muhammadiyah dan juga pemerintah atau sponsor tertentu. Pengharapan akan adanya dana hibah seperti menjadi satu-satunya sumber keuangan IPM. Kita lupa bahwa ada pepatah “terdapat seribu jalan menuju roma” yang sering saya rubah menjadi “banyak jalan menuju Tuhan.”
Cita-cita kemandirian IPM dalam bidang keuangan sudah menjadi wacana dari sejak zaman berhala. Kekurangannya adalah usaha aktif dan maksimal untuk hal ini. Keuangan berjangka panjang dapat dilakukan dengan cara membuat sistem dana penyimpanan abadi. Selain itu juga perlu mengembangkan amal usaha mandiri yang dimiliki oleh IPM.
Adanya bidang khusus yang membidangi prihal kewirausahaan seharusnya menjadi deklarasi sistemik IPM untuk mandiri secara keuanagan. Bagaimana mewujudkannya? Saya yakin kita semua memiliki gagasan yang harus saling dipertemukan melalui dialog aktif. Optimisitas harus menjadi nilai yang kita pegang dalam berjuang di ikatan.
Ketiga, Ujung Tombak Gerakan IPM Merupakan Pimpinan Ranting
Sebagai pimpinan IPM kita sering terjebak dalam sebuah stigma bahwa “tanggung jawabku berada di mana aku menjabat sekarang.” Kalimat tersebut sering mengkonstruksi pemikiran kita untuk fokus kepada diri kita yang dibawahi oleh pimpinan dan membawahi pimpinan. Sehingga kita terjebak kepada pakaian yang kita pakai yaitu jabatan.
Hakikatnya pergerakan IPM itu hanya bisa dinilai dari bagaimana basis masa bergerak. Basis masa IPM yang paling ideal adalah anggota IPM yang dipimpin oleh pimpinan ranting di lingkungan sekolah, desa atau lainnya. Hal ini yang sering kita lupakan karena kita sudah terpukau dengan pakaian kita.
Kita harus memakai pakaian kita dengan bijak dan memahami hakikat pergerakan IPM. Sebagai pimpinan di atas pimpinan ranting, kita harus berusaha memfokuskan program yang kita rencanakan untuk memberikan yang terbaik kepada basismasa agar bergerak dengan bebas, kreatif dan tertata. Sehingga saya sering menyebut bahwa berbagai penghargaan yang didapatkan oleh pimpinan pusat merupakan penghargaan yang semu. Karena penilaiannya juga semua tidak sampai ke ranah basis masa. IPM untuk mengumpulkan data kuantitatif terkait basis masa masih belum tuntas sampai sekarang. Apalagi untuk mengumpulkan data kualitiatif basis masa.
Sekali lagi, tidak ada yang mustahil. Sektor penelitian dan pengembangan harus didukung secara maksimal. Agar pimpinan IPM yang ada di struktural yang lebih dari pimpinan ranting dapat melihat dengan kaca mata yang lebih jelas bagaimana basis masa bergerak. Sehingga, perencanaan program yang mengarah kepada basis masa akan dapat dilakukan dengan lebih maksimal. Akhirnya, pergerakan IPM yang sebenarnya akan menjadi kekuatan sesungguhnya dari IPM dalam mendidik kader maupun memberikan sumbangsih kepada persyarikatan, bangsa dan agama.
Keempat, Renungi Lirik Lagu “Janji Kader”
Di kala akhir Taruna Melati. Ada tanya yang menyentuh dalam hati. Sudah siapkah aku kini, menjadi kader yang sejati? Telah banyak yang aku dapatkan. Tentang arti hidup dan perjuangan. Fisabilillah ditegakkan lewat hati, kata dan perbuatan. Ku mohon kekuatan ya Allah. Agar dapat kujalankan. Amanah umat dan ikatan demi agama Islam. Kini tiba saat diwujudkan, apa yang telah diberikan. Semoga Allah meridhoi niat hati yang tulus ini.
Lagu yang sering dikumandangkan tepat di akhir kegiatan Taruna Melati ini menjadi sebuah ruh tersendiri bagi para kader yang mengikuti kegiatan perkaderan tersebut. Makna yang tersurat dan tersirat di dalam lirik lagu ini tidak akan saya jelaskan di dalam tulisan ini, karena kita memiliki hak untuk menginterpretasikannya secara bebas. Namun apapun interpretasi terhadap lagu ini, sebagai pimpinan IPM, renungilah!
Kelima, Aku Pimpinan Bukan Sekedar Pengurus Ikatan
Kenapa di internal Muhammadiyah dan ortom-ortomnya menggunakan nomenklatur “pimpinan”? Banyak interpretasi dari pertanyaan ini. Namun garis besar yang dapat diambil inti positifnya adalah memang kita harus membedakan pimpinan dan pengurus biasa. Pengurus memiliki makna yang lebih umum sekaligus spesifik dalam bidang manajemen. Namun pimpinan memiliki makna yang lebih luas.
Pengurus memiliki tanggung jawab atas pekerjaan yang harus dilakukan demi berjalannya roda organisasi. Namun pimpinan lebih dari itu. Pimpinan memiliki tanggung jawab sebagai uswah atau cermin keteladanan bagi anggota persyarikatan maupun ikatan. Pimpinan juga memiliki makna keteguhan jiwa seorang kader yang memimpin roda organisasi. Pimpinan juga memiliki makna yang lebih kultural dari pada pengurus yang bersifat formal.
Makna kultural ini melandasi mencairnya dinding birokrasi di dalam struktur pimpinan. Seharusnya tidak ada batas birokratif antara ketua umum, sekretaris umum, bendahara, ketua bidang, sekretaris bidang dan juga anggota. Mereka harus saling berkolaborasi aktif dengan tidak terlalu fokus dengan birokrasi kewenangan yang dibuat terlalu rumit. Pemaknaan ini akan mempermudah komunikasi organisasi yang berjalan. Sehingga, seharusnya pimpinan IPM dalam praktiknya tidak terlalu kaku dan bisa lebih bersikap informal. Hal ini juga dapat dilakukan untuk sikap saling menghargai sebagai sesame pimpinan IPM.
Sikap saling menghargai ini akan mendorong rekonstruksi komunikasi organisasi yang lebih cair. Hal ini juga akan mencegah adanya pernyataan sikap individual sebagai pimpinan. Sehingga, segala keputusan akan dihasilkan dari diskusi dan musyawarah bersama.
Keenam, Politik Hanya Salah Satu Langkah dalam Manajemen
Praktik perpolitikan di dalam IPM seperti pemakaian sistem kelistrikan di Negara ini. Masyarakat mau tidak mau harus memakai listrik sebagai kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dibalik itu semua listrik yang digunakan dihasilkan melalui pembakaran batu bara secara besar-besaran. Tentu hal ini sangat merugikan lingkungan tempat makhluk ciptaan Tuhan hidup. Untuk memperoleh listrik yang ramah lingkungan memerlukan usaha pengembangan teknologi dan biaya yang cukup banyak.
Ibarat memakai listrik hasil dari pembakaran batubara. Kenaifan praktik politik IPM seperti itu. Tanpa disadari praktik pemilihan pimpinan dengan sistem paket dan banyaknya calon dari masing-masih pimpinan yang berkontestasi tanpa adanya pengenalan individual calon, membuat kita para pemilih seperti memilih kucing di dalam karung. Kenaifan ini takut disadari oleh kita semua.
Untuk membuat kontestasi perpolitikan IPM yang santun dan berbasis keilmuan membutuhkan usaha yang lebih, waktu yang lebih dan tentunya biaya yang lebih. Biaya yang dimaksud bukan merupakan praktik mony politic, karena praktik ini merupakan seburuk-buruknya praktik. Termasuk praktik mony politic dalam bentuk lainnya. Biaya di dalam praktik perpolitikan ini dimaksudkan untuk membiayai karya dan usaha kepemimpinan para calon.
Namun dari semua ini yang lebih menarik adalah politik di IPM hanya salah satu langkah dalam proses manajemen. Politik dalam makna perebutan kekuasaan sangat terlihat saat permusyawaratan dilangsungkan. Padahal pemilihan pimpinan adalah proses pengorganisasian yang merupakan satu dari sirkulasi proses manajemen lainnya. Tentunya masih ada proses perencanaan program di dalam setiap komisi permusyawaratan, rapat kerja dan rapat rutin pimpinan. Masih terdapat pengimplementasian program yang menjadi aspek penting dalam menyebut IPM sebagai sebuah gerakan. Masih terdapat juga proses evaluasi dan pengontrolan yang sering dilupakan oleh pimpinan IPM.
Politik dalam konteks ini hanya merupakan proses pengorganisasian yang bertujuan membentuk struktural dan mengimplementasikan wewenang yang diperolehnya sebagai pimpinan IPM. Tentunya hal ini harus kita lalui dalam ber-IPM. Namun tidak harus menguras tenaga dan pikiran kita secara penuh, karena poin utamanya adalah menjalankan roda keorganisasian IPM secara holistik yaitu mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengimplementasian dan pengontrolan yang merupakan unsur-unsur dari proses manajemen keorganisasian.
Ketujuh, Membaca dan Menulis Merupakan Dakwah IPM yang Sebenarnya
Literasi dalam makna sederhana yaitu membaca dan menulis. Tidak perlu berlebihan untuk para pimpinan IPM dalam memaknai istilah literasi. Istilah literasi agar dapat dipahami oleh basis masa harus menggunakan pengejewantahan istilah yang sederhana dan praksis.
Membaca dan menulis pada hakikatnya merupakan jalan keilmuan yang sesungguhnya. Membaca dan menulis merupakan jati diri seorang pelajar Muhammaidiyah yang sesungguhnya. Membaca berarti dan bermanfaat sangat luas begitu pula dengan menulis memiliki arti dan manfaat yang sangat banyak.
IPM sebagai organisasi yang ditujukan berdakwah dikalangan pelajar harus memahami hakikat pelajar itu sendiri. Apabila kita memahami pelajar sebagai kata dari seseorang yang belajar berarti memang hakikat dakwah IPM harus sesuai dengan makna pelajar itu sendiri. Kebiasaan mulia dan sebenar-benarnya kebiasaan yang harus dimiliki oleh pelajar adalah kebiasaan membaca dan menulis. Sehingga membaca dan menulis seharusnya menjadi dakwah IPM yang sebenarnya. Pimpinan IPM harus memahami hal ini agar program yang dirancang dan dilaksanakan memiliki karakter literatif.
Kedelapan, Pimpinan Harus Kritis dan Siap Dikritik
Beberapa kali saya mendengar ada ungkapan “mengkritik mulu, nanti kalau anda di posisi saya, anda akan merasakan bagaimana rasanya dikritik.” Ungkapan ekspresif tersebut merupakan keluhan dari seorang pimpinan yang tidak memahami bagaimana dialektika keilmuan dan keorganisasian dibangun. Dialektika kritis seperti ini sangat penting.
Sejarah filsafat memperlihatkan dialektika keilmuan kritis yang berkembang sehingga menciptakan berbagai peradaban di setiap zaman. Diawali dari berbagai pendapat Plato yang dikritik oleh muridnya sendiri yaitu Aristoteles yang menghasilkan pandangan keilmuan dengan karakter positifistik. Kemudian saat abad pertengahan, memperlihatkan kejayaan pemikiran Islam lewat dialektika Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah dan Imam al-Ghozali. Selain itu dalam bidang filsafat metafisik berkembang metafisika yang dikritik oleh anti-metafisika dan kemudian muncul metafisika Heidegger yang lebih religius. Bahkan di era perang dunia kedua berkembang pandangan psikoanalisis yang mempengaruhi era modern dan post modern yaitu psikoanalisis Sigmund Freud yang berorientasi seksual dikritik oleh mantan kekasihnya Carl Gustav Jung sehingga menghasilkan pandangan psikoanalisis dengan konsep ketidaksadaran kolektif.
Mengkritik dan siap dikritik seharusnya menjadi etika pimpinan IPM dalam mempertahankan tradisi dialektika keilmuan dan keorganisasian. Tanpa adanya dialektika tersebut, organisasi tidak akan berkembang bahkan jauh dari kata berjalan. Mengkritik merupakan sikap dengan fungsional surpervisi atau pengawasan yang mencegah penyelewengan kekuasaan. Begitu pula sika siap dikritik merupakan sebuah sikap keterbukaan dan saling menghormati pendapat yang harus dimiliki oleh pimpinan IPM.
Kenisbian manusia di dalam konteks ini terlihat jelas, dan hal ini yang membedakan kita dengan sang Mutlak yaitu Tuhan. Sikap anti-kritik merupakan sebuah kesombongan manusia. Menusia tersebut menganggap bahwa dirinya mutlak dan melupakan sang Mutlak yang sesungguhnya. Kita sebagai pimpinan IPM harus menyadari hakikat kemanusiaan kita. Kita merupakan ciptaan yang penuh dengan kekurangan sehingga harus saling melengkapi antar sesama untuk sebuah ikhtiar pendekatan kepada sang Mutlak.
Kesembilan, Tri Tertib IPM Adalah Kunci Kehidupan
Salah satu rumusan paradigmatik yang paling sempurna adalah tiga frasa yang dicetuskan oleh Khoirudin Bashori (Ketua Umum PP IPM 1986-1989). Tiga frasa tersebut sering disebut tri tertib IPM atau paradigm 3T. Rumusan tersebut yaitu tertib Ibadah, tertib belajar dan tertib organisasi. Sebuah rumusan yang sederhana, mudah dihafal dan sangat sesuai dengan karakter pelajar.
Banyak sekali tulisan yang memberikan penjelasan terkait tri tertib ini. Namun lebih menarik apabila setiap pimpinan memiliki interpretasi subjektif tersendiri. Interpretasi ini digunakan sebagai rumusan kehidupan untuk menyeimbangkan diri dalam berpikir dan bertindak. Rumusan ini pula harus digunakan oleh pimpinan IPM yang pada hakikatnya merupakan manusia yang menjadi khalifah di muka bumi dan ditakdirkan dalam pencarian ilmu sebagai ikhtiar mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kesepuluh, Kesadaran Ekologis Merupakan Puncak Sufistik Pelajar Muhammadiyah
Isu ekologi akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di kalangan kader Muhammadiyah, khususnya kader-kader IPM. Dinamika paradigmatik IPM di era 2000-an yang melahirkan paradigma Gerakan Kritis Transformatif (GKT) dan memberikan karakter gerakan IPM yang fokus kepada isu kemasyarakatan. Kemudian muncul paradigma Gerakan Pelajar Berkemajuan (GPB) yang memiliki karakter lebih luas dan berusaha menjadi paradigma yang dapat menangkap berbagai isu secara universal. Sekarang IPM tidak disibukkan lagi dengan dinamika paradigmatik, sekarang IPM dihadapkan dengan berbagai isu yang lebih kompleks, salah satunya isu ekologi.
Secara pribadi, saya berani berpendapat bahwa kesadaran ekologis merupakan puncak sufistik dari pelajar Muhammadiyah. Pelajar Muhammadiyah yang sadar akan pentingnya isu ini sesungguhnya telah melampaui pemahaman akan dirinya sendiri sebagai manusia menuju pemahaman yang lebih dalam akan dirinya. Pendarmaan diri yang sebelumnya diperuntukkan kepada sesama manusia, sekarang tidak hanya manusia namun juga diperuntukkan kepada sesama ciptaan Tuhan. Kesadaran ini dulu hanya seperti angin yang berlalu di sekitar kita, namun sekarang menjadi sebuah kesadaran subjektif bahkan kolektif.
Lihatlah bagaimana para pemimpin dunia dan Negara ini yang membuat kebijakan yang tidak ramah dengan lingkungan. Terjadi kerusakan ekologis di sini dan sana efek dari pemahaman neo-liberal. Pemahaman para kaum modernis yang menitik beratkan kepada manusia sebagai pusat peradaban (antroposentrisme). Pimpinan IPM yang memiliki puncak sufistik seharusnya memilih untuk berpemahaman secara ekosentris yaitu pemahaman bahwa alam merupakan pusat dari peradaban.
Menganggap alam sebagai pusat peradaban atas ciptaan Tuhan merupakan sebuah pemahaman yang mendalam, namun juga mulia. Pemahaman seperti ini akan menggiring pimpinan IPM untuk membuat kebijakan praksis yang berorientasi kepada pandangan yang lebih luas. Oleh sebab itu, sebagai pimpinan IPM mari berkolaborasi mewujudkan tatanan dunia yang lebih seimbang sebagai ikhtiar diri menuju sang Pencipta.
- Penulis adalah Alfa Rezky Ramadhan, Direktur Lembaga Fasilitator (LFP) PP IPM.
- Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis.
1 Komentar. Leave new
Mohon di jelaskan lebih lanjut lagi tentang poin ke 10