Menulis memang bukan perkara mudah. Latihannya lama. Sudah pun lama, tidak ada jaminan pula tulisannya bisa langsung bagus dan enak dibaca. Tetapi tidak mudah itu bukan artinya tidak bermanfaat.
Di IPM, selain berbicara dan bekerja, menulis adalah produk keilmuan yang paling mudah diukur. Sebab dalam sebuah tulisan, orang mengutarakan pendapatnya. Argumen seseorang dalam sebuah tulisan menunjukkan refleksi dan pandangannya dalam melihat sebuah fenomena. Oleh karena itu, produktivitas menulis juga penting dihitung dalam tubuh IPM sebagai pengingat seberapa sering kita secara kritis merespon isu dan memperdebatkannya dalam kancah intelektual.
Bila dihitung di laman resmi ipm.or.id, per tahun 2023, hanya ada 29 opini yang terbit yang ditulis oleh kader-kader IPM di seluruh Indonesia. Jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah kader IPM itu sendiri. Tidak juga sebanding dengan inovasi-inovasi yang dilahirkan dari musyawarah ke musyawarah.
Tapi saya paham. Mungkin menulis memang tidak mudah. Maka di tulisan ini, saya akan berbagi tiga hal yang mungkin bisa Ipmawan/ti terapkan saat memulai menulis. Tips ini saya peroleh dari kesalahan-kesalahan saya pribadi, saat mulai belajar menulis.
Mulai dari yang Mudah
Menulis tidak melulu harus dimulai dengan topik yang berat-berat. Ada dua alasan mengapa saat pertama kali memulai menulis, anda tidak perlu mulai dari topik yang ngintelektuil. Pertama, orang mungkin malas membacanya. Kedua, orang yang nulis mungkin lebih malas menuliskannya. Maka, mulailah dari topik yang sederhana.
Dalam proses belajar menulis, yang paling utama adalah bagaimana cara menyebarkan ide kita secara efektif kepada pembaca. Maka pikirkanlah topik yang anda kuasai, yang kira-kira bisa anda bagikan kepada yang lain dengan jelas.
Misalnya, menulis pengalaman saat anda pertama kali jadi pimpinan sidang. Menulis perasaan anda saat menjadi fasilitator di sebuah pelatihan. Menulis keresahan anda terhadap kader IPM yang suka merokok dan mengotori bau almamater orang lain. Topik yang sederhana, ringan, dan anda tahu persis apa yang anda tulis.
Sebagian dari kita, karena pingin terlihat keren, memulai menulis dengan hal yang sebaliknya: Menggunakan istilah-istilah berat di tempat yang salah, dengan pemahaman arti yang entah kemana. Akibatnya, tulisan mungkin terlihat akademis, padahal kalau dibaca sungguhan pakai kacamata akademis, ya nggak bisa dibilang benar juga.
Lebih baik tulis yang mudah dulu. Pahami dulu. Eksplorasi dulu. Pastikan pesannya tersampaikan dengan baik. Nanti, kalau sudah bisa menulis yang enteng, menulis yang berat tidak akan terasa sulit.
Mulai dengan Perbanyak Membaca
Struktur itu penting. Ada banyak struktur yang bisa kita adaptasi bentuknya ketika mulai menulis. Saya selalu memulai tulisan apapun—bahkan caption unggahan-unggahan saya di Instagram—dengan sebuat outline.
Struktur yang baik dapat kita peroleh dari proses membaca yang utuh. Ketika sedang membaca sesuatu, perhatikan bagaimana penulis merangkai poin demi poin. Jangan biasakan diri menulis secara serampangan: Tulisan yang poin dan argumennya tidak terstruktur. Tulisan yang baik selalu adalah tulisan yang koheren dan nyambung. Poinnya tidak lompat-lompat.
Jangankan ketika membaca. Ketika mendengar seseorang bercerita dan poinnya berpencar, apakah anda sebagai pendengar merasa nyaman?
Tentu tidak.
Untuk membantu anda familiar dengan struktur tulisan, cara yang paling efektif adalah dengan banyak membaca. Ada dua kelebihan bila anda belajar menulis dengan banyak membaca:
Pertama, anda bisa mengadaptasi banyak struktur tulisan. Kedua, anda bisa menyerap banyak kosa kata baru yang bermanfaat untuk dipakai di tulisan-tulisan anda. Ingat: Yang keren belum tentu bermanfaat. Tapi yang bermanfaat, sudah pasti keren. Cieelah.
Menulis Itu ‘M’nya adalah (M)emulai
Banyak orang mengatakan bahwa “Ah, elu bisanya nulis doang!”
Kalau ada orang yang mengatakan demikian kepada anda, suruhlah dia menulis. Baru dia pasti tahu setelahnya bahwa menulis itu bukan ‘doang’. Menulis itu susah dan perlu latihan. Jadi tidak ada cara instan bagi anda pandai menulis selain mencobanya. Memulainya.
Tulisan pertama saya tidak lebih bagus dari kasus korupsi di Indonesia: Buruk dan brutal. Tapi itu wajar. Tidak ada orang yang langsung pandai menulis. Orang yang tidak pandai menulis adalah orang yang tidak pernah mencobanya.
Jadi tulis saja dulu. Mulai dulu. Kalau bagus, syukurlah. Kalau belum, perbaikilah. Kita harus berani berbenah. Sebab kalau bukan karena keberanian untuk memulai dan berbenah, tulisan, ide, dan gagasan yang selama ini ada di dalam kepala tidak akan pernah diketahui orang banyak.
Selain itu, bersyukurlah Ipmawan/ti karena IPM punya ekosistem belajar menulis yang sangat supportif. Bila anda hanya ingin menerbitkan tulisan, anda bisa mengirimnya ke laman resmi ipm.or.id. Baik itu opini, catatan kritis, bahkan cerita. Dan bila anda ingin menerbitkan buku anda sendiri, Lembaga Pustaka PP IPM adalah mitra anda yang paling bersahaja.
Yang lebih penting, anda tidak perlu khawatir dijudge. Karena saya yakin redaktur-redaktur di ipm.or.id tentu sangat humanis. Kalaulah tulisan anda perlu diperbaiki, tidak mungkin mereka menolaknya, lalu bilang:
“Maaf anda kurang beruntung. Silakan coba lagi.”
Dalam sudut pandang yang lebih besar, menulis itu bagian penting dari aktivisme kader IPM yang tidak bisa dipisahkan dari organisasinya. Organisasi ini tumbuh dalam dialog dan kultur keilmuan yang sangat dalam. Pergulatan akademiknya juga tidak main-main. Banyak tokoh hebat dari IPM yang kita lihat di TV dan berita, adalah penulis yang handal.
Pak Haedar Nashir adalah alumni IPM yang sangat pandai menulis. Raja Juli Antoni adalah mantan Ketua Umum PP IPM yang juga sangat lihai menulis. Dan saya bisa sebutkan jebolan IPM lainnya yang tulisannya sangat memikat.
Jadi, sampai di sini, apa tulisan yang mau Ipmawan/ti buat?
- Penulis adalahBrilliant Dwi Izzulhaq, Ketua PP IPM Bidang PIP. Bercerita, menulis, dan sedang belajar di Australia.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis