Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) pada tahun 1990an menghadapi tiga dinamika penting. Pertama adalah proses “pemutusan generasi” yang terjadi sekitar tahun 1986 melalui Muktamar tersembunyi di Cirebon. Kedua adalah perubahan nomenklatur dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), yang sebenarnya pra Muktamar 1993 sudah berubah. Ketiga, perubahan pola kader IRM dari ekslusif ke inklusif. Demikian ungkap M. Izzul Muslimin, Ketua Umum PP IRM tahun 1996-1998, dalam diskusi LaPSI PP IPM 26 Maret 2016 bertema “IPM, Seni, dan Ideologi; Dinamika IPM tahun 1990an” di Gedung PP Muhammadiyah Jl. KHA. Dahlan 103. Diskusi ini juga dihadiri oleh mas Arief Budiman Ch, Sekretaris Umum PP IRM tahun 1993 dan mbak Lina, Ketua Bidang Irmawati yang pertama.
“Proses ‘pemutusan generasi’ itu terjadi tepat sebelum Muktamar Muhammadiyah. Waktu itu bapak-bapak dari Muhammadiyah meminta usia maksimal pengurus adalah 25 tahun. Mas Irud (Dr. Khoirudin Bashori) yang saat itu menjabat jadi ketua IPM menyerahkan jabatannya ke mas Jamal (Jamaludin Ahmad).” Menurut Izzul Muslimin, pemutusan generasi itu maksudnya supaya proses peremajaan di IPM dilakukan sesegera mungkin. “Itu proses peremajaan di IPM”.
“Muktamar Cirebon terselenggara tahun 1986, Mas Khoiruddin Bashori menjadi Ketua, Bang Azwir Alimuddin (kini tinggal di Pekanbaru) menjadi Sekretaris. (Gus Pur, inisiator Trensains, yang waktu itu mahasiswa Fisika ITB dan PW IPM Jawa Barat menjadi ketua Panitia Muktamar. begitu GusPur sering bercerita)” jelas Arief Budiman Ch atau yang akrab disapa Mas Adim melalui sebuah komentar pasca diskusi.
“Muktamar Cirebon terselenggara tahun 1986, Mas Khoiruddin Bashori menjadi Ketua, Bang Azwir Alimuddin (kini tinggal di Pekanbaru) menjadi Sekretaris. (Gus Pur, inisiator Trensains, yang waktu itu mahasiswa Fisika ITB dan PW IPM Jawa Barat menjadi ketua Panitia Muktamar. begitu GusPur sering bercerita)” jelas Arief Budiman Ch atau yang akrab disapa Mas Adim melalui sebuah komentar pasca diskusi.
Soal perubahan nomenklatur IPM menjadi IRM, dijelaskan oleh Izzul Muslimin sebagai respon atas permintaan Menpora. “Istilah pelajar waktu itu hanya bisa digunakan oleh OSIS. IPM bersama IPNU sama-sama mengambil jalan politik untuk menerima tekanan itu. Hal ini berbeda dengan PII yang menolak menerima tekanan. PII akhirnya menjadi gerakan ‘bawah tanah.” Sebenarnya di IPM pun sebagian besar menolak. Bahkan penolakan keras itu datang dari Pimpinan-Pimpinan Wilayah IPM dari berbagai provinsi. Bahkan ada yang membawa celurit untuk menunjukkan protesnya” ungkap Izzul Muslimin tertawa mengenang.
“Tahun 1989 bulan Juli, untuk mengakhiri periode kepemimpinan Khoiruddin Bashori-Azwir Alimuddin (periodenya 3 tahun), direncanakan Muktamar itu di Medan. Gagal dilaksanakan. Penyebabnya, ada tekanan dari pemerintah (Departemen Dalam Negeri, tepatnya) untuk merubah nomenklatur “Pelajar” menjadi yang nomenklatur lain. kalau tidak mau berubah, tidak dapat ijin penyelenggaraan Muktamar” tambah mas Adim. (penjelasan lengkapnya silahkan klik ini).
Hal ketiga yang disampaikan oleh Izzul Muslimin adalah soal perubahan sistem Perkaderan. “Semula perkaderan kita sangat ekslusif, menjadi sangat terbuka. Ada yang namanya perkaderan berjenjang seperti Taruna Melati, Pelatihan Instruktur, Pendidikan Khusus Irmawati (Diksusti). Terus ada pelatihan lainnya yang non-struktural, bebas, dulu punya kredit poin. Melalui pelatihan dan kegiatan-kegiatan itu bisa jadi kader inti atau kader pratama. Setelah itu baru muncul konsep tentang Taruna Melatih Utama (TMU). Orang yang ikut TMU dulu bisa dari hasil poin yang diperoleh masing-masing kader.”
Menurut Izzul Muslimin, IPM atau IRM punya dinamika zaman masing-masing. “Setiap zaman (IPM/IRM) ada dinamika dan logika. Tugas kita menjawab tantangan masa masing-masing. Tapi IPM tiap zaman harus punya dinamika pemikiran, sebab itu akan mempengaruhi kualitas gerak Muhammadiyah di masa depan. Dialektika pemikiran itu akan jadi kekuatan tidak hanya bagi IPM tapi juga bagi Muhammadiyah melihat abad kedua” pesan Izzul Muslimin menutup diskusi. (@FauAnwar)