Sudah lebih dari dua dekade perubahan lingkungan dunia terjadi. Hal ini berakibat pada seluruh tatanan sosial yang melingkupinya. Namun demikian, dampak yang mulai dirasakan tersebut selalu dipandang remeh oleh sebagian besar penduduk dunia. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran manusia terhadap lingkungan masih tergolong rendah. Jika melihat kondisi di Indonesia, dua dekade terakhir ini terjadi perubahan iklim dan lingkungan yang cukup membahayakan. Di sisi lain, gaya hidup yang tidak ramah lingkungan masih menjadi tren bagi sebagian besar penduduk di Indonesia.
Pergeseran musim di Indonesia sudah mulai dirasakan oleh petani. Meskipun pergeseran musim ini dirasakan pada sebagian wilayah di Indonesia, kondisi ini cukup membuat para petani resah. Hal itu berkaitan dengan masa tanam yang menjadi tidak menentu. Dengan kondisi demikian, hasil panen yang merupakan salah satu sumber kebutuhan primer manusia—makanan—menjadi buruk sehingga akan berimbas pada persoalan ekonomi dan pangan. Selain itu, perubahan iklim dunia juga berdampak di Indonesia. Lapisan ozon yang semakin terkikis berakibat pada mencairnya es di kutub sehingga menyebabkan permukaan air laut meningkat. Hal ini akan menyebabkan terendamnya daratan oleh air laut yang sudah mulai dirasakan di Indonesia. Masih terkait dengan persoalan laut, sampah yang berserakan di laut, terutama plastik, tidak dapat terurai sehingga menimbulkan petaka bagi biota laut. Beberapa berita internasional telah menginformasikan bahwa banyak ikan dan penyu yang yang mati karena sampah plastik. Lebih dari itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang menyumbang sampah plastik terbanyak di dunia. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran menggunakan benda atau barang yang ramah lingkungan di Indonesia masih sangat rendah.
Lima dekade yang lalu, Indonesia bangga selalu bangga dengan hutannya yang sangat luas dan menjadi paru-paru dunia. Namun, luas hutan di Indonesia saat ini terus berkurang karena pembalakan liar dan alih lahan. Selain itu, terjadi perubahan hutan hujan tropis menjadi hutan monokultur di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini akan menjadikan keragaman hayati di hutan-hutan tersebut menjadi hilang. Akibatnya, banyak flora serta fauna langka dan endemik menjadi punah. Di sisi lain, alih guna lahan yang dimulai dengan pembakaran hutan juga berakibat pada punahnya flora dan fauna yang ada di dalamnya. Jika pun tidak dijadikan alih guna lahan, keragaman hayati hutan-hutan di Indonesia diekspor secara besar-besaran. Di sisi lain, Indonesia justru mengimpor kebutuhan pangan. Hal ini membuktikan bahwa tidak terjadi keseimbangan nyata di lingkungan Indonesia. Jika hutan di Indonesia mulai menyempit, bencana alam juga akan mengancam Indonesia yang akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia.
Baru-baru ini, masyarakat Indonesia juga dikejutkan dengan pengolahan sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus. Misalnya, energi alam berupa batu bara terus diolah dan dikuasai oleh segelintir orang saja. Energi batu bara merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Artinya, jika batu bara terus diolah tanpa henti, dalam masa yang tidak terlalu lama, batu bara akan hilang dan tidak dapat dirasakan lagi oleh generasi berikutnya. Di sisi lain, sumber daya manusia di Indonesia belum mampu buat sumber energi terbarukan. Artinya, sumber daya alam dikuras habis, tetapi tidak diimbangi dengan pemunculan sumber energi terbarukan. Hal ini akan berdampak pada kondisi lingkungan dan sosial masyarakat. Penambangan batu baru yang dilakukan secara terus menerus juga akan merusak kondisi tanah di lingkungan sekitar. Hal in disebabkan daya tahan tanah menjadi lemah karena penggalian batu bara tersebut.
Kondisi tanah, air, udara, dan suhu di Indonesia juga memprihatinkan. Daratan di Jakarta semakin tahun semakin menurun. Kondisi tanah di Indonesia yang dahulu dikatakan subur, saat ini sudah mulai tidak subur lagi. Penggunaan pupuk tidak ramah lingkungan dan zat-zat kimia lain akan menurunkan kualitas tanah. Di sisi lain, pembangunan gedung dan hotel yang sudah merambah di wilayah pedesaan juga akan mengganggu lingkungan dan sosial. Di Yogyakarta, pembangunan hotel yang merajalela menyebabkan kualitas air di sekitar hotel menjadi buruk dan mulai tersendat alirannya. Hal itu juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Selain itu, di Jakarta dengan kendaraan bermotornya yang padat, polusi yang ditimbulkan semakin banyak yang berdampak pada kesehatan manusia. Polusi yang ditimbulkan tersebut berakibat buruk pada kualitas udara dan air di Jakarta. Hal ini yang menyebabkan Kota Jakarta dijadikan sebagai kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia dengan kualitas udara yang buruk.
Jika semua persoalan lingkungan tersebut ditarik pada dampak yang akan ditimbulkan, dilihat dari sisi kebahasaan, akan berimbas juga pada punahnya keragaman kosakata. Seluruh kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari hal-hal sederhana akan berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat. Tatanan sosial masyarakat tersebut terbentuk dan bisa berjalan karena adanya bahasa. Tanpa ada bahasa yang disepakati dalam lingkup sosial tertentu, kehidupan tidak akan bisa berlangsung. Sebagai makhluk sosial, manusia memnbutuhkan bahasa untuk berkomunikasi, bahkan pada tingkatan paling kecil sekalipun. Untuk menyebut ragam hayati saja manusia membutuhkan klasifikasi dalam pikirannya untuk membedakan antara benda yang ditunjuk yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, keberadaan bahasa sangat penting sebagai pembeda bentuk-bentuk yang hendak disebutkan.
Dengan pentingnya bahasa tersebut, perlu kosakata pembeda antara benda-benda yang hendak diucapkan oleh manusia. Selain itu, untuk menyebut jenis-jenis kerusakan lingkungan saja, manusia membutuhkan bahasa untuk mengidentifikasinya. Kajian ekolinguistik menitikberatkan hubungan antara bahasa dengan lingkungan yang melingkupinya. Artinya, lingkungan sekitar berhubungan dengan kebahasaan karena dibutuhkan oleh manusia sebagai pengguna untuk menyebutkan benda-benda atau bentuk-bentuk di lingkungan sekitar. Di sisi lain, bahasa juga ditentukan oleh lingkungannya. Bentuk kebahasaan antarsuku atau antarbudaya memiliki perbedaan dalam mengklasifikasikan benda tertentu. Hal itu dipengaruhi cara berpikir manusia sebagai pengguna bahasa dalam memikirkan benda itu. Benda yang tidak ada di dalam suatu suku tidak akan ada bentuk kebahasaan yang digunakan untuk menyebutkan, tetapi belum tentu hal itu berlaku di suku atau budaya lain karena mungkin saja benda yang dimaksud ada di dalam suku tersebut.
Dengan demikian, keberadaan bahasa dan lingkungan sungguh erat kaitannya. Dalam kajian ekolinguistik sederhana yang diangkat di sini adalah hubungan lingkungan hidup dengan bahasa. Di Indonesia, terdapat ratusan bahasa yang memiliki cara sendiri untuk menyebutkan ragam hayati. Jika ragam hayati di Indonesia semakin terancam, bahkan punah, penuturnya tidak akan menyebutkan kosakata untuk menyebut ragam hayati yang dimaksud tadi. Hal itu menyebabkan penggunaan kosakata tersebut menjadi berkurang dan bisa saja hilang. Hal itu akan berakibat pada matinya kosakata pada periode manusia setelahnya yang tidak akan mengerti kosakata untuk menyebut ragam hayati tersebut. Untuk saat ini saja, telah banyak terdapat kosakata bahasa-bahasa di Indonesia mati, bahkan terdapat bahasa yang punah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah penuturnya yang berkurang kemudian hilang karena apa yang hendak disebut dengan kosakata bahasa tertentu sudah tidak ada lagi, selain juga oleh faktor tingkat penutur yang sedikit. Pada kasus bahasa-bahasa di Indonesia yang memiliki penutur banyak, seperti bahasa Jawa, bahasa Melayu, bahasa Bugis, bahasa Sunda, dan bahasa Bali, telah banyak kosakata yang dulu sering didengar dan diucapkan, saat ini telah jarang didengar dan diucapkan. Hal itu salah satunya karena kosakata tersebut tidak lagi ada referennya dalam kehidupannya nyata.
Dengan demikian, keragaman hayati di Indonesia harus dijaga dengan baik karena akan berdampak pada seluruh pola tatanan masyarakat. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan dan bencana alam saja, tetapi berpengaruh pada pola tatanan masyarakat, salah satunya pada punahnya kosakata bahasa. Jika kosakata suatu bahasa mulai berkurang penggunannya serta penuturnya tidak lagi menggunakan bahasa tersebut atau hilang karena bencana alam, bahasa tersebut juga akan punah. Oleh karena itu, perlu adanya keseriusan oleh para pelajar dan remaja untuk menggerakkan lingkungan hijau sehingga ragam hayati yang ada di Indonesia terus terjaga dan tidak ada lagi bencana alam dan kepunahan bahasa di Indonesia.
*) Catatan
- Penulis adalah Nurcahyo Y. Hermawan, Ketua Bidang PIP PP IPM
- Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis