IPM.OR.ID, Yogyakarta –Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) berkomitmen ikut serta menangani isu kekerasan seksual. Komitmen itu tampak dari Launching Platform Peer CounseIor IPM (PCI). Sebuah Platform Pelaporan dan Pusat Informasi Hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) pada Sabtu (21/1/2023) secara daring melalui zoom dan luring di Aula Cik Ditiro Yogyakarta.
Pada sesi diskusi publik yang bertajuk “Konsolidasi Layanan Penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Digital Ciptakan Ruang Aman bagi Pelajar” menghadirkan berbagai tokoh termasuk Witriani (Ketua Pusat Studi Wanita dan Pusat Layanan Terpadu/PLT UIN Sunan Kalijaga), Diyah Puspitarini (Komisioner Perlindungan Anak Indonesia/KPAI) dan Novina Monalisa (Konselor Hukum Reksodyah utami).
Mengawali diskusi tersebut, Diyah Puspitarini membongkar data total kasus kekerasan seksual 2022 terdapat 53. 833 kasus. “Angka tersebut akumulasi dari berbagai jenis kasus, sementara di awal tahun 2023 telah ada 400 kasus jenis pencabulan, 395 jenis pemerkosaan, dan KPAI menerima 134 pengaduan kekerasan seksual yang menimpa anak-anak,’’ jelasnya.
Ia mengatakan Indonesia darurat kekerasan seksual, sebab pelakunya pun ada yang dari tokoh publik. Terlebih kasus yang menimpa pelajar mendominasi di awal tahun 2023, sehingga menurutnya platform pelaporan yang diluncurkan PP IPM ini bisa lebih mudah dan efisien.
‘’Anak-anak bisa melapor sambil makan bakso. Lantaran platform KPAI masih sedikit rumit dan belum ramah anak, hal itu akan menjadi PR kami bersama, ” ucap Diyah.
Berkaitan dengan hal itu, Witriani, PLT UIN Sunan Kalijaga yang beranggotakan dosen-dosen perwakilan lembaga lintas fakultas, memiliki tiga divisi, yakni Divisi Pencegahan, Divisi Penanganan dan Pemulihan Korban, dan Divisi Penindakan Pelaku. Dirinya menilai kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja dan memang banyak ragamnya, baik online maupun offline. Pasalnya, ia mendapati teman yang menjual sesama temannya di prostitusi online.
Sementara, dijelaskan oleh Noviana Monalisa, meningkatnya laporan juga berkorelasi kuat dengan kesadaran korban dalam melaporkan kekerasan seksual. ”Kami dulu kesulitan dalam memproses laporan karena tidak mempunyai alat bukti. Tetapi sekarang sejak ada UU PKS bisa melihat bukti dari tes audio/saksi dari teman serta bukti tes psikologi korban,” terang konselor hukum itu.
‘’Penegak hukum tindak pidana seksual tidak akan terjadi jika si korban tidak memiliki saksi, sebagai pelapor harus memberi informasi valid jangan hanya berdasar katanya-katanya. Maka harus dipastikan kebenarannya pada si korban. Sebab jika tergesa-gesa khawatirnya malah menyangkut perkara UU ITE, ” ujarnya.
Menutup diskusi, adapun beberapa upaya best practice dalam mendukung pemberantasan kekerasan seksual. Pertama Diyah mengusulkan adanya pelajaran pendidikan seks dan pelajaran kesehatan reproduksi sejak SD. ‘’Kedua mata pelajaran tersebut diselipkan sedini mungkin dan berjenjang dari SD, SMP, dan SMA. sehingga dengan informasi yang cepat bisa lebih mudah mitigasi kekerasan seksual pada anak,’’ paparnya.
Kedua, Noviana menegaskan agar semua berani speakup. “Bukan hanya korban yg speakup tetapi juga saksi, mengingat platform PP IPM ini juga tidak hanya menyasar untuk korban melainkan saksi juga bisa menjadi pelapor,’’ tuturnya. *(Vira)