Oleh: Masulyadi Wijaya*
foto pribadi moel |
“Selamat datang di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Palembang. Pasang sabut pengaman anda sampai pesawat ini benar-benar dinyatakan berhenti oleh otoritas Bandara” demikian pemberitahuan awak cabin Sriwijaya Air yang aku tumpangi.
Perjelanan ini lebih sebagai narasumber untuk suatu pelatihan. Bukan sama sekali dimaksudkan untuk wisata. Meskipun acap kali, usai memberikan fasilitasi, aku berkunjung ke destinasi disuatu kota. Jadi begini, di bulan Januari aku ketemu Zulfikar. Anak peternakan UGM dan aktivis disebuah gerakan; Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
“Bang Mul, bisa ngisi nanti di kagiatan (pelatihan) kami”? demikian Dzul sampaikan saat aku silaturrahim ke rumahnya di mBantul akhir desember 2015.
“Oke, mudah-mudahan tidak ada agendaku yang mendesak. Tapi pastinya nanti akan aku beri kabar, ya”? begitu tawarku kepada Dzul.
Tidak berapa lama setelah sampai di Selayar Dzul mengkonfirmasi kesediaanku.
“Bagaimana, abang bisa gak”? ujarnya melalui Whatsapp, agak mendesak.
“Soalnya mau dibookingkan pesawat. Biar tidak mahal je” terangnya memberi argumentasi.
“Yo wes, aku ngisi materi opo Kar”? begitu tanyaku, saat ku jawab WA-nya yang sudah meminta kepastian.
“Gerakan sosial baru dan analisis sosial” jawab Dzul.
“Wadduh, berat amat materinya. Lha itu dua materi yang berbeda lo. Bagaimana kalau aku ngisi, salah satu saja. Tidak boleh disatukan lo Kar. Itu mesti dijadikan dua materi” terangku menprotes penyatuan dua materi yang sebenarnya tidak boleh disatukan itu.
“90 menit itu gak cukup lo” aku masih membalas WA-nya.
Aku akhirnya dihubungi oleh Lufki lewat WA dan Fatma lewat BBM. Bendahara dan Sekretaris panitia penyelenggara.
“Aslkm kak Mul. Ingin konfirmasi terkait jadual pemberangkatan untuk ngisi acara di Palembang. Mohon konfirmasinya” demikian WA Lufki.
Maka dibelikanlah aku tiket Makassar – Jakarta – Palembang. Maskapai Sriwijaya Air.
Akhirnya fiks jadual dan aku membawakan materi gerakan sosial baru. Sementara analisis sosial dibawakan oleh seorang lainnya. Ya begitulah surel yang dikirim Dzulfikar ke emailku. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyiapkan bahan. Mencari buku dan jurnal. Referensi utamaku yaitu sebuah buku yang di tulis oleh Rendra Sigh. Judulnya gerakan sosial baru yang diterbitkan oleh Resist Book. Aku juga mencoba membaca bukunya Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach yang di terbitkan oleh Universitas Indiana Press.
Yang sekunder aku baca buku yang edit oleh Noer Fauzi, judulnya “Gerakan-gerakan Rakyat di Dunia Ketiga” diterbitkan Insist Press, “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” karya PhD Ilmu Politik pertama Indonesia lulusan Cornell University, Deliar Noor, dan “Intelegensia Muslim dan Kuasa” karya Yudi Latif.
Tidak ketinggalan jurnal Wacana yang membahas topik GSB ini. Ada juga tulisannya pak Sutoro Eko – dosen STPMD Jogja – di jurnal fisipol UGM.
Aku kemudian merangkum menjadi bahan di power point. Pertama, soal konteks dan momentum yang melahirkan gerakan sosial. Baik gerakan sosial lama maupun baru, selalu ada situasi yang melatari lahirnya suatu gerakan sosial.
Kedua, soal isu gerakan yang cenderung lebih jamak. Artinya tidak lagi melulu soal identitas kelas. Pertentangan antara borjuasi dan proletar. Antara pemodal dan buruh.
Isunya dari soal hak-hak perempuan hingga anak. Dari Abu Jahal hingga Abu lain yang merusak lingkungan. Wes, pokoknya lebih banyak isu deh.
***
Di pintu aku di kerubuti oleh supir-supir. “Ada jemputan pak” begitu aku berkilah. Lalu menuju tempat duduk. Membakar kretek. Belum sampai habis si Dzul sudah menelpon. “Nengndi e bang ..”? tanyanya khas Jogja. “Oh iya aku sudah lihat kamu, tunggu situ aja. Aku menuju ke tempatmu” jawabku di telepon. Aku naik di mobil inova yang mereka bawa. Dzul duduk disamping sopir. Aku ditengah.
“Makan mpek-mpek yo bang ..”? begitu aku ditawari sopir yang juga Ketua IPM Sumsel.
“Ada yang lain gak, aku gak terlalu suka dengan mpek-mpek” jawabku.
“Pindan mas” jelasnya.
“Oke, kita coba“ ujarku
.
Mobil lalu berbelok-belok dan keluar dari bandara. Kami menyusuri jalan-jalan yang sementara berbenah untuk public transportasi. Yang menghubungkan pusat kota Palembang dengan bandara. Sebuah terobosan yang baik, bukan?
Kami lalu singgah tidak jauh dari bandara. Sebuah rumah makan di sisi kiri jalan. Aku pesan pindan ikan. Dzul pesan daging.
Sembari menunggu pesanan. Aku makan krupuk. Ini kebiasaan Jogja sodara-sodara. Lalu pelayan membawa ikan sungai. Bentuknya kecil dan di goreng. Kriyuk-kriyuk. Aku tidak tau, ikan jenis apa.
Aku mencobanya. “Ah tidak cocok” gumamku dalam hati. Hanya habis seekor. Padahal ikannya seuprit saja ukurannya.
Tibalah saatnya makan berat. Masakan pindan, khas Palembang. Uenak rupanya sodara-sodara. Sedikit asam. Tapi top deh. Suer bro … Aku suka. Setelah ludes, lalu ditutup dengan juice alpokad.
______________________
Pemateri Taruna Melati Utama Palembang 2016, Alumni PP IRM, Sekarang lagi gemar fotografi dan Diving, penulis bisa ditemukan dengan di twitterland dengan akun @Moelugm