Di usianya yang mencapai 58 tahun, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) telah menunjukkan banyak prestasi. IPM sebagai organisasi otonom Muhammadiyah yang berhubungan langsung dengan basis massa paling awal, yaitu pelajar memiliki banyak peran yang strategis untuk membentuk kader-kader terbaik di masa yang akan datang. Persoalan yang dihadapi oleh IPM dari tahun ke tahun selalu berkembang dan sangat dinamis. Dalam posisi ini, IPM harus berusaha menyesuaikan diri agar basis massanya tidak meninggalkan IPM. Hal ini sebenarnya telah dimulai dengan kader-kader pendahulu yang selalu menyesuaikan paradigma IPM dengan berkembangnya zaman.
Pelajar sebagai agen perubahan harus diberdayakan secara maksimal oleh IPM. Pelajar saat ini terbelenggu oleh budaya populer yang parahnya mereka cenderung tidak menyadari. Budaya populer merupakan sebuah budaya yang dilakukan oleh rata-rata komunitasnya sehingga timbul persepsi bahwa hal yang dilakukan itu menjadi ciri khas komunitasnya. Lebih dari itu, budaya populer dilakukan secara bersamaan dan masif sehingga timbul arah pemikiran yang populer—dilakukan dan diyakini benar oleh sebagian besar komunitasnya. Budaya populer ini jika dilihat sekilas, tidak akan berimbas besar bagi pelajar, tetapi pada kenyataannya, sangat berbahaya bagi pelajar.
Pada dasarnya, budaya populer merupakan sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan dan cenderung dianggap sebagai kebutuhan. Hal ini berbeda dengan aktivitas yang tidak sering dilakukan, meskipun keberadaannya dianggap populer. Budaya populer pelajar mencakup hampir seluruh aktivitas populer remaja karena hampir tidak ditemukan budaya populer yang melibatkan orang dewasa, kecuali pada bagian tertentu saja. IPM harus merespons isu budaya populer ini secara bijak karena keberadaanya selalu berubah dinamis. Pada 1990—2000-an, budaya populer hanya terbatas pada perilaku yang dianggap sebagai kebutuhan dan mengarah pada hedonisme semata. Meskipun sama-sama hasil dari kapitalisme global, budaya populer pelajar saat ini lebih patut diwaspadai karena cenderung masuk secara halus dan tidak disadari. Pada saat ini, budaya populer pelajar berkembang beriringan dengan kemajuan teknologi dan pelajar belum siap mental menerimanya sehingga dapat memunculkan ancaman moral bagi pelajar. Beberapa akibat buruk dari budaya populer pelajar yang tidak disikapi dengan benar adalah hedonisme, kurangnya literasi pelajar, kriminalitas, eksklusivitas pelajar, dan tabdzir dalam berbagai bentuk.
Budaya Populer: Produk Kapitalisme
Sebagai produk dari kapitalisme global, budaya populer akan mengakibatkan beberapa hal buruk berkaitan dengan pelajar. Hal ini dapat dilihat bahwa pada tahun 2000-an, bahan bacaan pelajar dikuasai oleh kapitalisme penerbitan yang mementingkan aspek ekonomi dibandingkan aspek kebermanfaatan bacaan. Buktinya, pelajar sebagai sebuah kelompok besar memiliki ketertarikan terhadap bacaan yang ringan dan seolah-olah menggambarkan kepribadiannya, seperti persoalan percintaan, fashion, dan pergaulan sehingga bacaan pelajar tersebut dijadikan sebagai idola atau sandaran dalam beraktivitas..
Dengan adanya kemajuan teknologi saat ini, sebagian besar pelajar pasti memiliki dan pandai mengoperasikan gawai pintar. Kepemilikan gawai pintar itu pun sudah menjadi salah satu indikasi budaya populer pelajar karena pelajar di tingkat sekolah dasar pun sudah memiliki gawai pintar meskipun aspek kebermanfaatannya masih kurang. Hal semacam ini lah yang disebut sebagai budaya populer pelajar. Salah satu aspek buruk dari hal ini adalah nomophobia, yaitu ketergantungan pada gawai. Sebagai generasi Z, pelajar saat ini harus pandai menggunakan gawai pintar secara bijaksana agar tidak mengalami ketergantuangan dan antisosial.
Budaya Populer Bentuk Sikap Konsumtif
Dengan berkembangnya gawai pintar, banyak tawaran-tawaran yang mengarah pada perilaku konsumtif. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa di Yogyakarta daya beli pulsa dan kuota internet berada di atas daya beli rokok pada kategori barang nonprimer. Hal ini menandakan bahwa kehidupan pelajar sudah diatur oleh gawai yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.. Hal ini menjadi salah satu indikator budaya populer pelajar yang mengarah pada hedonisme. Selain itu, saat ini telah berkembang toko berbasis daring yang dapat diakses melalui gawai pintar dan internet. Dengan kemajuan itu, banyak pelajar yang memiliki rasa ingin memiliki sehingga terdorong untuk membeli tawaran di toko daring tersebut. Hal tersebut mencirikan perbuatan konsumtif di bidang pakaian, teknologi, dan asesoris lain.
Selain itu, budaya konsumtif juga terjadi pada bidang makanan. Saat ini, pelajar sudah terbiasa dengan nongkrong di kafe-kafe dan tempat makan yang mewah. Pelajar lebih bangga nongkrong di kafe daripada di tempat-tempat yang tidak berbayar. Hal ini merupakan ciri budaya populer yang konsumtif. Meskipun bukan menjadi sebuah kebutuhan, sebaiknya hal ini harus dihindari. Selain itu, saat ini tersedia jasa antarmakanan yang tidak mengharusnya pembelinya keluar dari tempat saat memesan. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan melalui aplikasi pada gawai menjadi sebuah gerbang pelajar untuk perlahan-lahan menggunakannya sehingga tercipta bibit konsumtif. Hal ini harus diantisipasi agar tidak menjadi ketergantungan sehingga terhindar dari perilaku konsumtif.
Budaya Populer Hambat Literasi Pelajar
Budaya populer pelajar yang ditopang dengan kemajuan teknologi menyebabkan daya literasi pelajar menurun. Pelajar dengan gawai pintarnya menganggap bahwa media daring, media dari situs-situs tertentu, dan aplikasi tertentu merupakan bagian dari literasi, padahal tidak semua hal tersebut merupakan bagian dari literasi. Berita dari whatsapp dan media daring lain harus dikonfirmasi kebenarannya sehingga terjadi pencerdasan dan terhindar dari berita bohong—daya literasi rendah. Beberapa ahli berpendapat bahwa bacaan dari aplikasi dan situs abal-abal tidak dapat dikategorikan sebagai aktivitas literasi. Hal ini pun ikut mewarnai dunia pelajar saat ini. Lemahnya literasi pelajar ini akan mematikan gagasan dan pikiran pelajar sebagai agen perubahan di masa akan datang.
Selain itu, sebagian besar bacaan pelajar adalah bacaan yang bersifat populer, bahkan bersifat fiktif. Misalnya, karya sastra yang dipilih sebagai bahan bacaan pelajar umumnya adalah karya sastra populer yang sebenarnya dari segi amanah pun hanya sebagai hiburan saja. Di dalam karya populer justru berisi budaya remaja yang penuh dengan romantisme, hedonisme, dan pergaulan bebas. Jika karya populer itu dijadikan sebagai panutan dalam berperilaku, pelajar akan terjebak pada budaya populer yang semakin mendalam. Literasi yang diharapkan memupuk jiwa kritis pelajar, justru menjadi bencana bagi pelajar. Dengan demikian, bahan bacaan pelajar harus ditingkatkan agar dapat memupuk gagasan kritis.
Salah satu solusi masalah ini adalah gerakan literasi media. Media sangat erat kaitannya dengan pelajar, bahkan terjerumusnya pelajar ke arah budaya populer pun berawal dari media. Dengan memerlakukan media secara baik dan tepat akan muncul gerakan literasi yang bermanfaat. Islam mengajarkan memahami sesuatu dari tingkat membaca, mamahami, dan menulis. Dari membaca literasi media yang dapat dipertanggungjawabkan, kemudian diinternalisasikan dalam pikiran, dilanjutkan dengan mengutarakan gagasannya, menjadi proses yang akan meningkatkan literasi bagi pelajar.
Budaya Populer Rawan Kriminalitas
Budaya populer pelajar yang mengarah pada hedonisme bisa berlanjut pada arah kriminalitas pelajar. Pelajar yang tidak memiliki tempat untuk berekspresi, ditambah dengan pengaruh lingkungan sekitar, sangat rentan terhadap dunia luar. Sikap hedonisme yang sudah tertanam membuat pelajar secara terus menerus ingin melakukan perilaku hedonisme. Di saat kondisi ini terjadi, akan timbul kriminalitas. Sebagai contoh, pelajar yang tidak memiliki uang untuk memenuhi keinginannya, akan menggunakan berbagai cara untuk memenuhi keinginannya tersebut misalnya dengan mencuri. Aksi pencurian di kalangan pelajar di beberapa tempat juga diiringi dengan kekerasan, misalnya dengan klithih, pembacokan, dan kekerasan lainnya. Contoh lain, pelajar bisa melakukan korupsi secara kecil-kecilan untuk memenuhi keinginannya tersebut. Hal ini menjadi salah satu budaya populer yang berakibat buruk bagi pelajar dan masa depan bangsa.
Budaya Populer Bentuk Sikap Eksklusif
Budaya populer pelajar akan membentuk persepi pelajar untuk mengidolakan tokoh tertentu. Tokoh tersebut kemudian ditiru sehingga ada keinginan untuk menyamai tokoh idola tersebut. Selain itu, pelajar juga menginginkan dirinya sebagai idola dari pelajar lain sehingga harus tampil sempurna. Gaya yang ditampilkan pun terinspirasi dari tokoh yang diidolakan. Gaya yang berlebihan, misalnya menggunakan pakaian berlebihan, selalu membeli makanan yang mahal, meggunakan kendaraan yang tidak biasa, merokok, dan lainnya akan menimbulkan sikap eksklusif. Beberapa aksi eksklusif pelajar ini menjadikan dirinya sebagai pelajar yang terlalu percaya diri sehingga bisa berakibat pada antisosial. Sikap eksklusif ini akan mengarah pada perilaku bullying terhadap pelajar yang tidak sealiran dengan dirinya.
Berdasarkan penjelasan itu, sangat jelas bahwa budaya populer pelajar menjadi sumber dari berbagai permasalahan pelajar. IPM di usianya yang ke-58 ini harus mampu memosisikan dirinya dengan baik karena karakter pelajar saat ini ditentukan oleh aksi-aksi kreatif IPM. Jangan sampai di usia yang ke-58 tahun ini, IPM justru ditinggalkan oleh basis massanya karena menjadi organisasi yang eksklusif. IPM harus memperbanyak agenda aksi berupa komunitas di akar rumput yang mewadahi semua keinginan pelajar sehingga pelajar tidak mencari wadah sendiri di luar sekolah yang sangat dapat terjerumus ke dalam budaya populer. IPM harus bijak dalam menanggapi isu budaya populer pelajar tersebut sehingga tercapai gagasan kreatif yang sesuai dengan kemajuan zaman.
*) Catatan
- Penulis adalah Nurcahyo Y. Hermawan, Ketua Bidang PIP PP IPM
- Substansi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis
- Ditulis dengan pengembangan dalam rangka Milad 58 Ikatan Pelajar Muhammadiyah