Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?

Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?

OpiniOpini Pelajar
190 views
Tidak ada komentar
Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?

Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?

OpiniOpini Pelajar
190 views
Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?
Perubahan SPI, Kepentingan Siapa?

Dalam sejarah gerakan pelajar Islam di Indonesia, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) merupakan organisasi yang secara konsisten menempatkan pendidikan kader sebagai jantung pergerakan. Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) menjadi alat formal organisasi untuk mentransmisikan ideologi, membentuk karakter, serta menentukan arah gerak generasi penerus Muhammadiyah. Namun dalam praktiknya, SPI terus mengalami perubahan bentuk, orientasi, dan pendekatan. Pertanyaannya: perubahan ini ditujukan untuk siapa? Atas nama kepentingan siapa sistem ini dirombak?

Dinamika SPI: Sebuah Refleksi Politik dan Ideologi

Sejak SPI Merah (1985), SPI Biru (1994), SPI Hijau (2002), hingga SPI Kuning (2014), setiap transformasi sistem perkaderan IPM tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial-politik nasional serta pergeseran paradigma pemikiran dalam tubuh IPM sendiri. Genealogi perubahan SPI sejatinya merepresentasikan relasi kekuasaan dan pengetahuan yang terjadi secara simultan dalam organisasi.

Menurut Azaki Khoirudin dalam tesisnya di UIN Sunan Kalijaga, perubahan SPI selalu beriringan dengan perubahan “rezim intelektual” dalam IPM. SPI Merah muncul dalam rezim Orde Baru yang represif; mengusung “Tri Tertib” dan bersifat doktriner-konservatif, cenderung perenialis. Sedangkan SPI Biru muncul sebagai respons terhadap inkonsistensi dan kebutuhan format pedagogis yang lebih fleksibel di tengah era pragmatis-inklusif, cenderung esensialis. SPI Hijau kemudian lahir dari semangat reformasi dan gerakan sosial kritis-transformatif, mengadopsi pendekatan Paulo Freire yang partisipatoris dan demokratis. SPI ini dianggap progresivis. Sementara SPI Kuning dibentuk untuk menopang paradigma Gerakan Pelajar Berkemajuan (GPB) yang lebih kosmopolitan dan integratif, menunjukkan kecenderungan rekonstruksionisme.

Kini, IPM berada di ambang perubahan besar lainnya: transisi dari SPI Kuning menuju SPI Putih.

SPI Putih: Harapan Baru atau Sekadar Rebranding?

SPI Putih yang saat ini sedang dirumuskan melalui berbagai forum resmi, termasuk semiloknas, disebut-sebut sebagai wujud dari kebutuhan IPM untuk menjawab tantangan zaman yang kian kompleks dan cair. SPI ini membawa gagasan “Kepemimpinan Berdampak” sebagai pendekatan baru, serta memuat nilai-nilai maqashid syariah, integrasi bayani-burhani-irfani, hingga transformasi sosial.

SPI Putih diharapkan menjadi bentuk pembaruan sistemik yang tak hanya menata ulang penjenjangan dan kurikulum, tetapi juga cara pandang IPM terhadap kaderisasi: dari sekadar pelatihan ideologis menuju pengalaman kepemimpinan yang kontekstual, adaptif, dan membumi. Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah SPI Putih benar-benar menjawab kebutuhan kader di lapangan atau hanya menjadi dokumen ideal yang sulit dijalankan?

Membongkar “Rezim Kebenaran”

Dengan menggunakan perspektif genealogi Michel Foucault, SPI dapat dipahami sebagai representasi regime of truth dalam tubuh IPM. Ia tidak netral. Ia adalah produk dari diskursus yang dominan dan menjadi alat reproduksi ideologi penguasa dalam organisasi. SPI bukan hanya mengajarkan cara menjadi pemimpin atau aktivis, tetapi juga membentuk cara berpikir kader tentang agama, masyarakat, bahkan negara.

Misalnya, SPI Merah menjadikan kader sebagai tentara ideologi yaitu militan dan patuh. SPI Biru melahirkan generasi kreatif yang fleksibel namun tetap loyal. SPI Hijau menciptakan kader kritis dan partisipatoris, namun dianggap terlalu “aktivis LSM” dan “Jawa sentris”. Sementara SPI Kuning menyasar lahirnya generasi progresif yang berpikir kosmopolitan dan berdaya tanggap terhadap perubahan zaman.

Lantas, bagaimana dengan SPI Putih? Akankah ia mampu memadukan spiritualitas dan intelektualitas secara seimbang, atau akan kembali terjebak pada eksklusivitas elit wacana?

Kader di Persimpangan, Saatnya Demokratisasi Perkaderan

Salah satu ironi terbesar dari SPI adalah bagaimana ia seringkali disusun oleh elit pusat yang jauh dari realitas cabang dan ranting. Hal ini terutama terlihat dalam SPI Hijau dan Kuning, yang dianggap “tidak praktis”, “terlalu teoritis”, bahkan “tidak membumi”. Banyak kader di ranting dan cabang yang kesulitan memahami bahasa dan metode SPI terbaru, apalagi mengimplementasikannya.

Masalahnya bukan sekadar teknis pelatihan. Ini adalah soal siapa yang memiliki otoritas pengetahuan dalam IPM. Ketika kader lokal tidak diberi ruang untuk mengartikulasikan kebutuhan dan konteks mereka, maka SPI menjadi alat pemaksaan ide, bukan ruang pembebasan.

Perubahan SPI bukan ditentukan oleh siklus waktu 10 tahunan, bukan pula demi menyenangkan kelompok tertentu di pucuk pimpinan. Perubahan SPI harus berbasis riset kebutuhan kader, kondisi sosial pelajar, serta pembacaan kritis terhadap tantangan zaman.

Demokratisasi sistem perkaderan menjadi keharusan. Kader akar rumput harus terlibat dalam merumuskan arah perkaderan, tidak hanya sebagai objek pelatihan, tetapi subjek gerakan. Pimpinan pusat hingga wilayah harus memastikan bahwa setiap SPI yang lahir benar-benar berakar dari realitas kader, bukan sekadar meniru gagasan Barat atau demi mengejar pengakuan intelektual.

Perubahan SPI untuk Siapa?

Jika kita sepakat bahwa kader adalah ruh gerakan IPM, maka pertanyaan “Kepentingan siapa SPI diubah?” harus dijawab secara jujur. Apakah untuk pengembangan kader atau sekadar proyek elit? Apakah SPI mendekatkan kader dengan realitas, atau justru menjauhkan mereka dari nalar gerakan? Tanpa transparansi dan partisipasi dalam proses perubahan SPI, termasuk dalam transisi ke SPI Putih, jangan salahkan jika kader mulai bersikap sinis terhadap sistem perkaderannya sendiri. 

Namun, mari kita tempatkan harapan secara adil. SPI Putih bukan sekadar perubahan warna; ia adalah simbol kelahiran semangat baru. Putih melambangkan kejernihan niat, keterbukaan pikiran, dan keberanian melangkah ke masa depan tanpa bayang-bayang masa lalu. Jika benar dikelola dengan jiwa kolektif, SPI Putih bisa menjadi oase di tengah dahaga kader akan sistem yang membumi, membebaskan, dan bermakna.

Kita semua, dari ranting hingga pusat, bertanggung jawab untuk tidak hanya mengawal SPI ini secara administratif, tetapi menjiwainya sebagai gerakan. Sebab lebih dari sekadar dokumen, SPI adalah warisan ideologis yang akan menentukan seperti apa wajah IPM di masa depan. Kini, bukan hanya SPI yang perlu direvisi. Cara kita memahami, menyusun, dan menjalankannya pun harus ditransformasikan. Perubahan bukan soal warna, tapi soal makna.

  • Penulis bernama Wildan Azzam Firdausi, Ketua PW IPM Jawa Tengah Bidang Perkderan periode 2023-2025. Mari terhubung dengannya melalui akun Instagram @azzamwildan_
  • Substansi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Kader Hebat Tak Tumbuh dari Instruksi, Tapi Keteladanan
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.