Setiap sekolah memiliki sebuah tingkatan yang kerap disebut dengan kelas. Dari kelas paling dasar hingga kelas paling atas. Di semua tingkatan tidak ada perbedaan, semua mengemban ilmu dengan kesulitan tiap tingkatannya masing-masing. Namun, nampaknya tingkatan ini disalah artikan oleh beberapa siswa dan siswi.
Salah Kaprah Senioritas
Kita pasti sering melihat beberapa teman kita di sekolah yang kerap dirampok oleh senior mereka, atau digiring menuju tempat nongkrong para Basis (Barisan siswa) yang mengaku sebagai penguasa area sekolah. Para senior itu menempatkan posisi mereka sebagai penguasa di dalam sekolah. Menurut mereka, para siswa atau siswi yang memiliki tingkatan di bawah mereka tidak berhak melakukan apapun yang dapat merugikan para seniornya.
Jika kita sadari di beberapa sekolah pasti memiliki posisi ini, dan di setiap tahunnya selalu diadakan pergantian kursi kedudukan secara otomoatis tanpa pemilihan. Jika tahun kemarin mereka merasakan yang namanya dihakimi dan ditindas, maka tahun ini mereka lah yang berhak berlaku demikian. Begitu seterusnya dan tidak akan ada habisnya. Keinginan untuk duduk di posisi tersebut dianggap keren oleh beberapa siswa dan siswi. Bahkan mereka kerap melakukan hal-hal yang sebenarnya menyimpang dan jelas merugikan diri mereka sendiri bahkan orang lain.
Ada beberapa siswa yang sebenarnya tidak ingin masuk ke dalam lubang senioritas ini, namun mereka dipaksa bahkan diancam ketika mereka tidak mau melakukan hal yang diinginkan oleh para seniornya tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus senioritas ini akan selalu berujung kepada masalah bullying. Kekerasan pada fisik maupun mental yang dirasakan korban tidak menutup kemungkinan si korban nanti akan melakukan hal tersebut kepada junior mereka.
Sekolah Bukan Tempat untuk Para Preman
Tanpa disadari hal-hal yang para siswa dan siswi lakukan seperti contoh diatas sudah masuk ke dalam beberapa perilaku tercela seperti bullying, intimidasi, bahkan penganiayaan. Dan parahnya lagi hal-hal ini jarang terdengar di telinga para dewan guru. Anehnya, jika para dewan guru tidak mengetahui hal-hal yang ada di dalam sekolahnya sendiri, mengapa siswa/siswi tetangga justru lebih paham dan mengetahui apa saja pembullly-an dan senioritas yang ada di sekolah tersebut?
Baik, saya akan memberikan beberapa contoh peraturan di beberapa sekolah menengah, yang tidak masuk akal dan dibuat oleh senior mereka tanpa diketahui oleh para guru. Namun, sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun.
Pertama, tidak ada yang boleh melewati lorong kelas dua belas kecuali ada hal penting dan mendesak. Kedua, dilarang menggunakan jepit di area rambut. Ketiga, dilarang menggunakan softlens sekalipun itu softlens minus. Keempat, tidak boleh memasang wajah sinis terhadap kelas dua belas. Kelima, setiap angkatan harus mempunyai Basis. Keenam, tidak ada yang boleh melewati atau menginjakkan kaki di lapangan kecuali jam olahraga.
Semua itu tidak boleh dilakukan oleh kelas 10 dan 11. Hanya kelas 12 lah yang berhak melakukan itu semua. Itulah beberapa isu tentang peraturan yang dibuat oleh para senior dari beberapa sekolah, yang sudah umum dan bertebaran dimana-mana. Dan hal ini dibenarkan oleh beberapa siswa dan siswi setempat. Yang saya tidak suka disini adalah, ketika ada yang melanggar hal tersebut mereka akan mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya.
Bully dan Budaya Feodal Senioritas
Perlakuan mereka lebih kejam daripada peringatan yang sekolah berikan jika salah satu muridnya melanggar peraturan sekolah. Ini gila, pikir saya. Untuk apa mereka dipaksa menuruti hal tersebut dimana hal itu tidak pernah menjadi kewajiban bagi para siswa kelas 10 dan 11, untuk menaati peraturan yang senior nya itu buat. Mereka tidak akan dikeluarkan dari sekolah, mereka tidak akan diberikan SP (Surat Peringatan) jika melanggar peraturan konyol yang seniornya itu buat.
Namun, mengapa mereka lebih takut akan peraturan konyol itu ketimbang peraturan sekolah? Karena pada kenyataannya, hal yang dilakukan oleh senior mereka lebih berdampak besar merusak mental dan fisik mereka.
Sayangnya sekolah mana pun tidak pernah mengusut ini sampai tuntas. Jika salah satu dari mereka ketahuan melakukan hal tersebut, maka kemungkinan yang paling ringan adalah mendapat surat peringatan. Atau kemungkinan paling beratnya adalah dikeluarkan dari sekolah.
Saya merasa, bahwa tindakan-tindakan para senior itu merujuk kepada satu objek. Preman. Kalian pasti pernah melihat preman-preman di pasar yang sering memalak, memukul, mengancam, atau bahkan merampas paksa.
Ya, hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan para pelaku senioritas ini. Ini adalah dampak nyata dari terkikisnya adab dan akhlak para siswa dan siswi di sekolah. Sekolah yang harusnya menjadi tempat ternyaman untuk para siswanya belajar dan mengembangkan prestasi mereka, justru sebagian dari mereka merasa berada di posisi yang tidak aman dan nyaman.
Sekolah untuk Semua
Memang tidak semua sekolah memiliki atau terkena dampak dari senioritas ini. Namun, hal ini harusnya menjadi sinyal waspada untuk para guru dan juga warga sekolah dengan menolak keras adanya senioritas ini. Dengan menjadi senior yang melakukan kekerasan untuk terlihat keren, kamu tidak menjadikan dirimu benar-benar keren. Tapi, kamu justru menjadikan dirimu seorang preman yang tidak elegan sama sekali. Kuasai dirimu sendiri, bukan orang lain.
Sekolah adalah tempat para siswa dan siswi yang ingin belajar, bukan tempat para preman yang ingin terlihat keren.
*) Catatan
- Penulis adalah Alra salsabilla. Anggota Bidang PIP PR IPM SMA Muhammadiyah 8 Ciputat, siswi kelas 11 jurusan IPS ini, menyukai isu-isu tentang pelajar, perempuan, juga kesehatan mental. Ia memiliki hobi membaca dan melukis. Alra bisa dihubungi melalui salsabillaalra11@gmail.com atau bisa melihat hasil tulisan dan lukisannya melalui sosial medianya di instagram @alrasabila.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.