Saya punya keyakinan kuat bahwa IPM, khususnya di PP dan PW, dan mungkin bisa juga di PD, untuk memberlakukan fit and proper test bagi pemilihan posisi di bidang selain Ketua Umum dan Sekretaris Umum. Ketua Umum dan Sekretaris Umum memang produk politik. Namun, tidak dengan bidang. Kenapa harus fit and proper test?
Urgensi Fit and Proper Test
Secara umum, penentuan bidang, terutama di PW dan PP dilakukan secara politis. Artinya, koalisi pemenang yang berhasil merebut kursi formatur terbanyak memilih bidang-bidang yang mereka inginkan, kemudian sisanya digunakan untuk rekonsiliasi. Bagi-bagi kue kekuasaan.
Maka, mudah saja ditebak. Bidang-bidang strategis diisi oleh pemenang, sementara bidang-bidang kurang strategis diisi oleh orang-orang di luar koalisi pemenang. Sebenarnya pembagian bidang menjadi bidang strategis dan tidak strategis tidak layak dilakukan. Namun, realitanya, aktor-aktor IPM selalu merebut bidang-bidang yang itu-itu saja.
Mekanisme penentuan bidang seperti ini tidak melihat siapa yang punya potensi dan kapasitas. Asal menang, semua bidang strategis bisa diembat. Sisanya? Jatah untuk rekonsiliasi. Maka, pihak pemenang yang belum tentu kompeten bisa memegang bidang strategis.
Sementara itu pihak di luar pemenang yang boleh jadi kompeten harus menempati bidang yang tidak strategis. Atau, dalam pola yang lain, posisi strategis seperti ketua dan sekretaris bidang diambil oleh pemenang, sedangkan pihak yang kalah diberikan jatah di anggota.
Antara Koalisi dan Kompetensi
Padahal, Islam mengajarkan agar setiap urusan diserahkan kepada ahlinya. Sedangkan, koalisi pemenang belum tentu ahli di bidang-bidang terkait. Koalisi pemenang ditentukan oleh jumlah suara. Jumlah suara secara umum ditentukan oleh dari mana ia berasal dan siapa saja yang mendukungnya. Jika ia berasal dari daerah yang besar, maka beruntunglah ia. Ia berpotensi memenangkan pertarungan dengan lebih besar. Sedangkan, jika ia berasal dari daerah kecil, ia harus ikut koalisi daerah yang besar untuk memenangkan kompetisi.
Maka, menang kalah hampir tidak selalu relevan atau linier dengan kompetensi, kemampuan, dan kapasitas. Boleh jadi orang yang memiliki kompetensi, kemampuan, sekaligus kapasitas yang baik di bidang seni misalnya, harus diletakkan di bidang KDI karena bidang ASBO sudah dipenuhi oleh koalisi pemenang.
Boleh jadi pula, orang yang sejatinya tidak punya kapasitas yang cukup baik di bidang lingkungan, namun karena ia masuk ke dalam koalisi pemenang, ia memilih untuk menjadi Ketua Bidang Lingkungan Hidup dengan pertimbangan pragmatis tertentu misalnya. Saya kira, pembahasan seperti ini tidak perlu diuraikan lagi, karena kita sudah mengalami hal ini dalam berbagai musyawarah di berbagai tingkatan.
Fit and Proper Test: Sebuah Alternatif
Maka, sekali lagi, fit and proper test adalah salah satu alternatif untuk memutus rantai ini. Setiap orang harus berada di bidang yang ia kuasai. Penentuan posisi sebagai Ketua Bidang, Sekretaris Bidang, dan anggota, serta di bidang apa ia berada idealnya berdasarkan kompetensi, kemampuan, dan kapasitas. Politik suara dan formatur biarkan melahirkan Ketua Umum dan Sekretaris Umum. Namun, bidang harus diuji melalui fit and proper test. Jumlah kepala menentukan Ketua Umum dan Sekretaris Umum. Namun, isi kepala yang menentukan posisi bidang.
Ketika beberapa kali melempar gagasan ini, orang-orang kemudian bertanya, siapa yang layak menguji dan menyelenggarakan fit and proper test? Serahkan saja penyelenggaraan fit and proper test kepada Majelis Pendidikan Kader, Pimpinan Muhammadiyah setingkat, atau AUM yang layak.
Jika di PW, bisa MPK PWM, PWM sendiri, atau PTM yang ada di wilayah tersebut yang dipercaya oleh seluruh musyawirin. Bisa jadi paling netral adalah MPK PWM dan PWM. Namun, jika MPK PWM dan PWM merasa hal tersebut merepotkan mereka, maka bisa didisposisi ke AUM yang layak seperti PTM.
Fit and Proper Test dan Kewenangan Formatur
Dengan demikian, apakah fit and proper test dapat memangkas kewenangan formatur? Benar. Kewenangan formatur, jika fit and proper test digelar, akan berkurang. Formatur hanya akan berhak menentukan Ketua Umum dan Sekretaris Umum. Bahkan, posisi formatur sendiri yang biasanya berbagi kue kekuasaan dengan jumawa akan terancam. Ia kembali harus berjuang di fit and proper test untuk mendapatkan posisi yang dia inginkan.
Tapi apa yang salah dengan berkurangnya kekuasaan formatur? Bukankah selama ini 9 formatur terpilih menjadi layaknya dewa? Bukankah selama ini kekuatan di luar formatur berlomba-lomba melakukan lobbying agar mendapatkan jatah kue kekuasaan? Syukur-syukur jika lobi-lobi tersebut dilakukan secara sehat.
Sayangnya, tidak. Ada beberapa lobi-lobi terhadap formatur yang bahkan sudah menggunakan materi. Artinya, ada kasus di mana kekuatan di luar koalisi pemenang menjanjikan fasilitas tertentu kepada formatur yang memiliki kekuatan untuk memasukkan nama-nama yang diinginkan. Bukankah sistem ini sudah merusak organisasi?
***
Maka, sudahlah. Fit and proper test adalah jalan tengah bagi seluruh aktor IPM yang bertanding dalam musyawarah. Mari perjuangkan fit and proper test agar menjadi aturan di sistematika pemilihan pimpinan, syukur-syukur bisa masuk ke AD/ART.
*) Catatan
- Penulis adalah Yusuf Yanuri, Kader IPM Jawa Tengah.
- Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
1 Komentar. Leave new
Sepakat kakak