IPM.OR.ID., – Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) identik dengan gerakan pelajar berkemajuan dan gerakan literasi. Dari kedua gerakan inilah muncul banyak penulis-penulis muda yang lahir dari IPM. Salah satunya adalah Putri Ardila, kader IPM asal Sragen, Jawa Tengah yang telah menerbitkan 24 karya.
Putri Ardila merupakan siswi kelas 10 jurusan akuntansi dan anggota bidang Kajian Dakwah Islam (KDI) Pimpinan Ranting IPM SMK Muhammadiyah 1 Sragen sekaligus sekretaris umum terpilih Pimpinan Cabang IPM Sragen Kota.
Dalam wawancara via Whatsapp pada Rabu (8/3/2023), Putri Ardila mengaku awal mulai bergelut di dunia tulis menulis adalah sejak bulan Agustus akhir tahun 2022. Hal ini dikarenakan ia baru masuk jenjang SMK dan mulai mencari minat dan bakat apa yang ia miliki.
“Kalau di lihat-lihat, aku sering nulis diary hingga akhirnya meminta izin orang tua untuk membuat sosial media berupa instagram. Cukup lama untuk mendapat izin membuat sosial media. Pada akhirnya diperbolehkan dan hal yang pertama kali saya cari adalah olimpiade dan event menulis,” kata Dila, sapaan akrab siswi kelas X, SMK Muhammadiyah 1 Sragen tersebut
Selain itu, Dila juga mengatakan ia terdorong untuk menjadi penulis juga karena ingin membuktikan kepada keluarga, terlebih orang tua bahwa ia pasti memiliki hal yang dapat dibanggakan. Meskipun selalu mendapat peringkat di sekolah, tapi menurutnya itu belum cukup membanggakan dan menaikkan derajat orang tuanya.
Dila telah menulis 11 cerpen dengan spesifikasi 9 diantaranya dibukukan dalam bentuk kumpulan event antologi cerpen dan dua lainnya ia kirim ke Kompasiana.com. “Cerpen-cerpen ini temanya sangat bervariasi. Ada yang bertema senja, orang ketiga, dan lain sebagainya,” ujar Dila.
Tak hanya itu, Dila juga telah menulis 13 puisi, 11 diantaranya telah dibukukan dan dua lainnya ia kirim ke Kompasiana.com. Ia juga baru saja menulis buku solo pertamanya yang berjudul “Self love” yang telah diterbitkan oleh penerbitebiz.
“Buku ini saya persembahkan kepada teman teman sebaya saya yang masih suka minder dengan dirinya sendiri. Dalam buku ini saya berikan banyak kata-kata motivasi. Karena saya tau pemuda sekarang kalau post story suka pake kata-kata,” ucap Dila.
Selama mengikuti event menulis, Dila mengaku telah mendapat sertifikat berstandar nasional dan beberapa apresiasi dari sekolahnya. Diantaranya, ia mendapat uang saku dan bebas SPP selama 2 bulan.
“Selama ikut event menulis ini saya mendapatkan sertifikat berstandar nasional dan apresiasi dari sekolah berupa uang saku dan bebas SPP dua bulan. Qadarullah naskahnya selalu lolos dan dibukukan. Total yang sudah dibukukan ada 20, namun saya tak pernah mengambil bukunya,” jelas Dila.
Tak hanya di bidang menulis, Dila juga mendapat medali perak saat mengikuti olimpiade dari Lembaga Sains Pelajar pada mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Agama Islam jenjang SMK. Ia juga mengaku pernah mengikuti lomba beberapa kali. Tapi, qadarullah ia belum di beri kesempatan untuk menang. Namun, Dila bertekad untuk mencoba lagi dan lagi.
Dalam proses menulis, tentu Dila mengalami beberapa hambatan. Hambatan pertama adalah ridho orang tua. Dila merasa dulu orang tuanya tidak suka apabila ia menulis. Namun, dengan karyanya Dila telah membuktikan kesungguhan diri nya untuk menulis kepada orang tuanya
“Hambatannya yang pertama itu ridho orang tua. Dulu orang tua nggak suka aku nulis kaya gini. Jadinya ya nggak semangat karena diremehin. Sekarang setelah jadi beberapa buku ku itu, akhirnya orang tua udah setuju dan menghargai karyaku,”
Hambatan Dila yang kedua adalah Mood. Dila harus memaksakan diri untuk menulis agar tulisannya selesai sampai tamat. Ia juga menambahkan nulis tidak harus menunggu mood bagus, karena waktu sedih atau marah justru bisa dibuat nulis karena hal itu dapat membuat tulisan jadi terbawa suasana.
“Nulis tapi nurutin mood? Jangan deh nanti nggak selesai naskahnya!” ucap Dila.
Hambatan yang ketiga adalah Dila kesulitan untuk mengoreksi naskah. Ia kesulitan dikarenakan tidak memiliki laptop dan harus mengoreksi menggunakan ponsel.
“Susah kalo mau koreksi naskah karena nggak punya laptop. Jadi kalau mau nulis ya pake ponsel dan itu waktu koreksi susahnya Subhanallah,” ujar Dila.
Di akhir wawancara, Dila mengatakan bahwasannya “Penulis yang baik adalah pembaca yang hebat”. Ia mengingatkan kepada teman-teman pelajar di luar sana, jikalau nulis jangan ikuti mood tetapi melawan mood.
“Harapanku untuk teman teman di seluruh Indonesia ini bisa memperbanyak literasinya, terlebih di keterbacaannya. Pesanku, semua orang itu pasti punya bakatnya masing-masing, cuma kadang kamu belum sadar. Jadi bukannya kamu tidak memiliki bakat tapi kamu belum menemukan bakatmu,” tegas Dila.
Itulah kisah Putri Ardila dengan segudang karyanya. Ke depannya di harapkan akan muncul kader-kader IPM yang mampu menyusul Ardila untuk menjadi penulis muda yang akan terus memberikan karya untuk umat dan bangsa. *(Mahda)