IPM.OR.ID., JAKARTA – Isu kesehatan masihlah belum banyak dibicarakan dalam perhelatan dunia digital. Hari ini sosial media bahkan masih dipenuhi oleh narasi-narasi yang kontra produktif. Oleh sebab itu, Tobacco Control Ikatan Pelajar Muhammadiyah (TC IPM) melakukan konsolidasi jaringan yang membahas mengenai Identifikasi, Pemetaan, dan Strategi Konter Industri Tembakau.
Konsolidasi ini turut mengundang Nashir Efendi (Ketua Umum PP IPM), Fauzi Ahmad Noor (UNION), dan Frida Kusumastuti (Dosen Komunikasi UMM).
Menurut Nashir, sekarang dunia media sosial masih dikuasai oleh narasi dan polarisasi yang memecah belah persatuan. Narasi yang sifatnya produktif, yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan isu kesehatan belum banyak dibicarakan di ruang digital. Merespon hal ini, Nashir mengungkapkan bahwa resource kita (IPM) nyatanya belum rapi sehingga diperlukan penataan.
“Dibutuhkan pemetaan, identifikasi, bahkan nanti kita juga perlu untuk menyiapkan influencer-influencer dimana apa yang kita gaungkan memang berbasis pada isu yang memang berkembang di masyarakat saat itu,” jelas Nashir.
Konsolidasi ini menurut Nashir setidaknya harus bisa mendorong agar bagaimana semua bisa sama-sama membuat pembaharuan-pembaharuan narasi sehingga narasi yang di ungkapkan bisa menembus ruang digital. Selain itu yang tidak kalah penting ialah agar bagaimana narasi yang dibawa bisa dilihat dan dilirik oleh target yang disasar.
Dimoderatori oleh Abid Mujaddid (TC IPM), diskusi selanjutnya dilanjutkan oleh Fauzi Ahmad Noor (UNION). Di awal pemaparan, Fauzi mencoba untuk menerangkan data-data mengenai generasi milenial dan kaitannya dengan penggunaan internet. Ia kemudian melanjutkannya dengan bagaimana posisi Indonesia dalam isu pengendalian tembakau.
“Indonesia adalah satu-satu negara di asia yang menolak menandatangani FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Dampaknya adalah negara yang tidak FCTC memiliki regulasi pengendalian tembakau yang sangat lemah,” jelas Fauzi.
Ia juga dalam pemaparannya mengungkapkan data-data mengenai remaja dan pengaruh iklan rokok terhadap habitus merokok. Sebanyak 70 persen remaja mengaku mulai merokok setelah melihat iklan rokok. Sedangkan 46,5 juta anak Indonesia kena asap rokok orang lain dan 133,3 juta orang dewasa dipaksa menghirup asap rokok orang lain.
Tak kalah menarik, Frida Kusumastuti (Dosen Komunikasi UMM) mengungkapkan bahwa iklan hanya salah satu upaya komunikasi pemasaran industry rokok. Industri rokok dalam pelaksanaannya juga menggunakan baliho, katalog, poster, papan nama, stiker, berita di media massa, dan lain-lain. Selain itum Frida juga mengatakan bahwa penegakan Perda KTR nyatanya di lapangan masih banyak dilanggar. Terutama pada area-area sekolah dan tempat bermain anak yang seharusnya tidak diperbolehkan ada iklan, sponsor, dan promosi rokok justru malah sebaliknya.
“Apakah peraturan ini sudah dilaksanakan? Lagi-lagi masih wacana dan wacana. Kita perlu memperbanyak konten kontra narasi iklan rokok dengan narasi positif. Misalnya dimulai dengan menghilangkan sebutan Rokok dan Nikotin,” tutup Frida.*(iant)