Pencapaian dan Moral Intelektual

Pencapaian dan Moral Intelektual

OpiniOpini Pelajar
1K views
Tidak ada komentar
intelektual

[adinserter block=”1″]

Pencapaian dan Moral Intelektual

OpiniOpini Pelajar
1K views
intelektual
intelektual

Pada tanggal 6 Februari 2019, Prof. Cornelis Lay dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Saya tidak memiliki semacam kedekatan intelektual dengan beliau, baik sebagai sebatas murid maupun kolega, karena kami berbeda fakultas, yaitu saya bernaung di Fakultas Ilmu Budaya. Terlepas dari hal itu, pidatonya mengenai intelektual, kekuasaan, dan kemanusiaan itu menarik perhatian saya untuk menelusuri lebih lanjut siapa beliau dan kurang lebih apa pemikirannya. Dari satu penelusuran, setelah beliau tiada, pesan yang sampai sekarang membekas adalah “Dosa seorang intelektual tidak terletak pada kesalahan yang dia lakukan, tapi pada kebohongan dan ketakutan menyimpan kebenaran yang diketahuinya”. 

Hari-hari ini, sepanjang pergulatan dan perjalanan saya di lingkungan akademik yang seharunya mengucapkan pikiran, saya justru menemui hal yang sebaliknya. Pikiran memang diucapkan dalam konteks-konteks tertentu, tetapi pikiran tidak dijadikan acuan kadar akademik. Saya menemui banyak orang dengan segala pencapaian. Mahasiswa—di dalam gempita usia mudanya—ke sana dan ke mari. Mereka merengkuh sederet pencapaian, bahkan jauh lebih besar daripada saya. Perjalanan intelektual saya di sebuah institusi ilmu pengetahuan (saya sudah mengatakannya secara tidak langsung) memang mempertemukan dengan banyak hal yang pada awalnya, semua itu memerangkap saya pada satu ketakjuban bahwa dunia kampus adalah dunia yang luas, yang tak terbatas, dan yang bebas. Dalam arti, dunia kampus memiliki banyak kanal yang bebas untuk kita pilih dan kita terjun ke dalamnya. Anggaplah seseorang bebas ingin menikmati kegiatan akademik atau sebaliknya, menekuni dunia non akademik. Akan tetapi, bagi saya semua itu akan kembali pada pertanggungjawaban semula dan yang paling radikal, yaitu sebagai seorang intelektual. 

Tanggung Jawab Atas Pencapaian

Pertanggungjawaban inilah yang tidak  keluar dari ucapan dan pikiran sejumlah kolega saya. Oleh karena itu, apakah tulisan ini menjadi semacam kritik? Benar. Tulisan ini juga menjadi refleksi dengan kesederhanaan kritis saya terhadap individu-individu dari dunia intelektual di mana pun yang tidak memahami bahwa sejauh dan setinggi apa pun pencapaian,  kita memiliki tanggung jawab atas pencapaian itu. Namun, alih-alih memahami tanggung jawab tersebut, individu-individu ini justru sibuk membangun feodalisme. Dengan narasi-narasi tertentu, mereka akan mengatakan jika sebelumnya penuh kegagalan, lalu bangkit dengan kerja keras meskipun rintangan tak kunjung redam. Lantas, karena kegigihannya menantang rintangan itu, mereka tiba di atas podium, menerima penghargaan, dan seterusnya. Cerita-cerita semacam itu didistribusikan dan diseminarkan seolah-olah menjadi dalil utama dan tolok ukur untuk merengkuh sebuah pencapaian. Naifnya lagi, mereka diagungkan sebagai individu yang pantas menjadi panutan dalam segala hal.

Tatanan feodal semacam ini, kemudian, secara tidak langsung makin diperkuat dengan adanya media sosial. Media ini menjadi situs untuk melegitimasi dan mengukuhkan bahwa seseorang akan diakui pencapaian prestasinya, hanya jika prestasi itu diketahui di ruang publik. Bagaimana caranya? Prestasi itu diunggah ke kanal media, didiseminasikan, dan dengan demikian, publik mengetahui dan memberikan pengakuan. Dengan begitu, ia baru dianggap sebagai orang yang berprestasi. Inilah mengapa kolega-kolega saya secara tidak langsung justru menyatakan bahwa prestasi seseorang diukur dari unggahan prestasinya di media sosial, bukan dari pikiran. Itu memang hak mereka untuk mempublikasikan pencapaian. Akan tetapi, kewajiban mereka tidak tertunaikan. Alih-alih menunaikan, sejak awal mereka memang tidak memahami. Pemahaman mereka hanya satu, yaitu bahwa pencapaian adalah urusan personal sehingga yang mereka pertanggungjawabkan bukanlah moral intelektual, tetapi moral personal. 

Sebarluaskan Ilmunya Bukan Sekadar Informasi Pencapaiannya

Hal seperti ini kerap saya temui ketika seseorang yang sesungguhnya berprestasi justru menceritakan pencapaiannya dengan harapan para pendengar akan tersihir dan tergiur dengan sederet motivasi, kesuksesan, kerja keras, semangat, pantang menyerah, berbuat baik, dan lain sebagainya. Motivasi bagi saya adalah sesuatu yang hiperbolis. Memang, mungkin secara psikologis ada hal-hal yang kita raih ketika mendengar nada-nada motivasional itu. Namun, bagi saya kata-kata itu hanya menyihir sehingga melenakan kita untuk berpikir. Itu sebabnya, saya kerap kali menyatakan bahwa tugas seseorang atas capaiannya bukanlah memotivasi, melainkan bertanggung jawab secara akademik. Bagi saya, tanggung jawab akademik adalah ketika apa yang kita lakukan mencerminkan spirit untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang kita peroleh dan yang kita miliki. Tentu, ada banyak kanal yang dapat kita pilih untuk menyebarluaskannya: menulis dan atau meneliti, misalnya. Entah apa pun itu, kanal itu membawa kita pada satu muara yang memfasilitasi kita untuk berpikir dan memproduksi pikiran.

Pikiran adalah moral intelektual. Itu yang seharusnya menjadi lantas tumpu untuk dan ketika mempertanggungjawabkan pencapaian dalam bentuk apa pun dan setinggi apa pun. Hanya dengan pikiran, kita mampu mengucapkan sesuatu secara bermutu. Pikiran diperlukan karena semestinya kita memahami bahwa institusi ilmu pengetahuan ialah ruang untuk mengadili moral intelektual, bukan moral personal. Karenanya, kebenaran seperti yang dikemukakan oleh mendiang guru besar di atas—bagi saya—adalah kebenaran intelektual itu sendiri, bukan kebenaran moral yang ditentukan oleh dogma-dogma tertentu. Kalau pencapaian bertumpu pada moral personal, yang kita dapatkan dan saksikan adalah individu-individu yang arogan dan haus kehormatan, tetapi nihil dan defisit pikiran. Pikiran yang defisit tidak akan membuahkan apa-apa, selain ucapan yang penuh kemunafikan intelektual. 

*) Catatan

  • Penulis adalah  Riqko Nur Ardi Windayanto, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Tags: ,
Self-Healing Sebuah Organisasi
Rilis Buku, IPM Ilir Timur 1 Sumbang Kado Milad IPM ke-60
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.