Memulai Perkaderan yang Menyenangkan: Membaca Generasi dan Menentukan Aksi

Memulai Perkaderan yang Menyenangkan: Membaca Generasi dan Menentukan Aksi

OpiniOpini Pelajar
2K views
Tidak ada komentar
perkaderan

[adinserter block=”1″]

Memulai Perkaderan yang Menyenangkan: Membaca Generasi dan Menentukan Aksi

OpiniOpini Pelajar
2K views
perkaderan
perkaderan

Perkaderan sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Dua-duanya sama-sama memiliki elemen formal dan nonformal, bahkan kalau boleh, perkaderan nonformal bisa dikatakan pendidikan nonformal dan perkaderan formal adalah pendidikan formal bagi kader IPM. Bila dibuat analogi, kira-kira begini: Kalau IPM adalah sekolah dan kader IPM adalah peserta didiknya, maka kualitas perkaderan di IPM amat ditentukan oleh seberapa baik proses pendidikan itu diselenggarakan oleh pimpinan di tiap jenjang.

Mengamini pernyataan barusan, maka artinya mengamini bahwa kalau kualitas kader IPM ingin ditingkatkan, maka perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi di tiap perkaderan formal sangat menentukan.

Lebih teknis lagi, hal ini artinya kualitas output dan outcome perkaderan di IPM sangat ditentukan oleh peran fasilitator, penyelenggara perkaderan, dan lingkungan yang menjadi penyokong fungsi-fungsi perkaderan. Fasilitator yang statis dan tidak berkompeten, penyelenggara kegiatan yang mismanajemen, dan lingkungan yang tidak kondusif tentu akan menghasilkan perkaderan yang tidak efektif.

Kalau yang seperti ini diteruskan, perkaderan jadi terkesan kaku dan begitu-begitu saja. Gak asik, jauh dari kata menarik, dan sangat tidak bisa disebut menyenangkan. Padahal menurut teori belajar kognitif, pembelajaran yang menyenangkan adalah kunci, sebab pembelajaran yang menyenangkan mampu menstimulus peserta didik agar lebih mudah dalam memahami materi. Olehnya, menurut hemat saya: Perkaderan formal di IPM sebaiknya diisi oleh muatan-muatan pembelajaran yang menyenangkan.

Perkaderan dan Urgensi Pembelajaran yang Menyenangkan

Menyenangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disusun oleh sifat-sifat seperti membangkitkan rasa senang, memuaskan, menarik, membuat bersuka hati, dan puas. Oleh Bambang (2015), pembelajaran dikatakan menyenangkan jikalau di dalamnya tercipta suasana yang rileks, bebas dan jauh dari tekanan, aman, menarik, menimbulkan bangkitnya minat belajar, adanya keterlibatan penuh, perhatian peserta didik tercurah, lingkungan belajar yang menarik, bersemangat, perasaan gembira, dan konsentrasi tinggi. Ini artinya, proses pembelajaran apapun—termasuk proses perkaderan formal di IPM—haruslah memuat nilai-nilai barusan untuk bisa dikatakan ‘menyenangkan’.

Hal-hal seperti ini di dalam ruang perkaderan formal gak mungkin terwujud kalau paradigma pendidikan yang digunakan gak relevan dengan kepribadian kader IPM. Supaya perkaderan bisa efektif dan menyenangkan, maka perkaderan harus didesain sesuai kepribadian dan keinginan kader. Masalahnya: Di beberapa kasus, metode dan pengetahuan kita soal ilmu-ilmu pedagogis-psikologis sangat terbatas untuk bisa memfasilitasi kader IPM hari ini.

Ketidakmampuan inilah yang kemudian membuat perkaderan jadi monoton. Ceramah lagi-ceramah lagi. Diskusi lagi-diskusi lagi. Hal itu gak salah. Tetapi mbok ya ayo kita eksplor cara lain untuk belajar supaya perkaderan bisa lebih dinamis.

Sampai disinilah urgensi perkaderan yang menyenangkan diperlukan. Pernyataan reflektif di atas hadir sebab banyak terjadi kasus dimana model-model dan metode pembelajaran konvensional sudah dirasa tidak tepat mengisi pos-pos belajar di arena perkaderan. Terlebih kaitannya pada ketidaksesuaian metode dan pendekatan belajar yang digunakan dengan psikologi peserta didik dan paradigma pendidikan modern.

Anda mungkin bertanya: Bagian mana dari psikologi peserta didik dan bagian mana dari paradigma pendidikan modern yang tidak sesuai?

Untuk menjawab itu, maka terlebih dahulu izinkan saya untuk mencoba membaca dan menyajikan general brief dari kepribadian kader IPM hari ini, berdasarkan tipikal generasi: Generasi Z dan Generasi Strawberry.

Kader IPM Hari Ini: Antara Generasi Z dan Strawberry

Sebagaimana saya singgung sebelumnya, ditinjau dari tahun kelahirannya mayoritas kader IPM hari ini adalah generasi Z. Yaitu, mereka yang lahir setelah tahun 1995 dan disebut sebagai generasi pasca-milenial (Brown, 2020; Francis & Hoefel, 2018; Linnes & Metcalf, 2017). Pada dasarnya, generasi Z adalah generasi yang unik dan memiliki beragam potensi untuk dikembangkan. Mereka–Generasi Z–dari konteks kelahirannya, sangat dekat dengan teknologi. Sehingga tipikal perilaku mereka pun berbeda dari generasi sebelumnya. Sekurang-kurangnya, menurut McKinsey (2018) ada empat perilaku generasi Z.

Pertama, generasi Z sebagai the undefined ID (Terbuka terhadap perbedaan). Kedua, generasi Z sebagai the communicaholic (Inklusif dan punya ketertarikan terhadap komunitas). Ketiga, generasi Z sebagai the dialoguer (Mementingkan komunikasi dan dialog); dan terakhir, generasi Z sebagai the realistic (Realistis dan analitis dalam decision making). Perilaku-perilaku ini setidaknya menunjukkan bahwa generasi Z adalah generasi yang kreatif dan inovatif serta sangat peduli pada fleksibilitas dan new experience.

Mereka gak bisa diam alias eksploratif dan memang maunya kerja bareng-bareng alias kolaboratif. Perilaku ini unik dan oleh banyak peneliti disebut sebagai potensi yang unik karena berlainan dari generasi terdahulu.

Kendatipun demikian, tiada gading yang tak retak. Diantara banyaknya potensi baik yang termaktub dalam generasi Z, mereka di sisi yang lain juga sangat rapuh. Dalam kajian lebih lanjut, generasi Z sangat identik dengan generasi yang oleh Renald Kasali (2017) disebut sebagai Generasi Strawberry. Ciri-cirinya amat mirip seperti generasi Z sebagaimana saya singgung di atas.

Generasi Strawberry oleh Rhenald (2017) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk individu zaman now yang kreatif, tetapi rapuh. Individu-individu yang cerdas, tetapi mudah patah. Hal ini sejalan dengan kekurangan-kekurangan yang juga terdapat dalam tubuh generasi Z yang seirama dengan penelitian Kronos Incorporated (2019).

Mirip seperti buah strawberry: Bentuknya eksotis dan indah, rasanya enak, tetapi begitu terbentuk atau tergesek, ia langsung koyak dan hancur.

Keunikan karakteristik generasi Z dan Strawberry ini perlu disikapi serius. Dalam kaitannya dengan pendidikan dan perkaderan di IPM, pendekatan, model, dan metode belajar mereka menjadi kunci utama agar kegiatan pembelajaran dan perkaderan formal dapat berjalan efektif dan menyenangkan.

Memulai Pembelajaran yang Menyenangkan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa generasi Z adalah generasi yang memiliki kemampuan visual yang lebih baik dari generasi sebelumnya (Suhandiah, 2020). Sehingga bagi Generasi Z, pembelajaran yang menarik secara visual akan membuat kegiatan belajar lebih efektif. Hal ini bentuknya bisa beragam: Permainan interaktif, proyek kolaboratif, dan beragam kegiatan lain yang melibatkan keaktifan peserta didik dalam belajar.

Sampai di sini, akhirnya kita dapat mengetahui fakta bahwa: Pembelajaran yang menyenangkan—yang melibatkan kader atau peserta didik secara aktif dan eksploratif—adalah pembelajaran yang disukai oleh generasi Z dan Strawberry.

Dalam kasusnya di perkaderan formal, metode-metode monoton seperti ceramah harus pelan-pelan divariasikan. Pendekatan internalisasi nilai berbasis marah-marah dan kekerasan dalam kristalisasi harus diubah menjadi refleksi diri. Perkaderan harus didesain secara terbuka, aman, nyaman, interaktif, integratif, dan dinamis. Sehingga, kader-kader bisa teraktivasi lebih jauh.

Sekurang-kurangnya, menggunakan tiga sudut segitiga (Fasilitator, penyelenggara, dan lingkungan perkaderan) berikut ini adalah beberapa pilar yang saya usulkan sebagai bagian dari upaya untuk memulai perkaderan yang menyenangkan.

Pilar Perkaderan yang Menyenangkan

Pertama, dari kristalisasi jadi refleksi diri. Perkaderan yang menyenangkan artinya perkaderan yang nyaman, aman, gembira, dan jauh dari tekanan. Menggunakan pendekatan belajar yang berbasis kekuasaan atau kekerasan bin behavioris tidak begitu direkomendasikan untuk melakukan kegiatan internalisasi nilai. Selain karena hal tersebut—kristalisasi berbasis kekerasan—tidak sejalan dengan paradigma pendidikan modern, menggunakan pendekatan berbasis tangan besi seperti itu akan menyebabkan timbulnya luka psikologis bagi kader IPM yang rapuh. Sebagai alternatif, saya menawarkan konsep refleksi diri.

Konsep ini setidak-tidaknya akan memberikan kader ruang untuk melakukan evaluasi diri dan pembenahan perilaku secara radikal lewat pos-pos pembiasaan yang apresiatif. Secara konkret ini lebih mudah diwujudkan ketimbang merancang pos-pos kristalisasi yang keras dan kerap menyita emosi.

Kedua, dari tangan besi jadi humanisasi. Kegiatan pembelajaran dalam perkaderan dinilai menyenangkan apabila kader bisa terbuka dalam berproses. Keterbukaan inilah yang kemudian akan menimbulkan perasaan aman, nyaman, rileks, bebas dan jauh dari tekanan, menimbulkan bangkitnya minat belajar, dan perasaan gembira. Karakteristik Generasi Z dan Generasi Strawberry yang rapuh tidak bisa difasilitasi dengan pendekatan yang tangan besi. Mereka perlu dilibatkan penuh. Dianggap punya suara yang utuh dan kehendak bebas-terukur dalam menentukan sikap. Hal-hal humanisasi jadi kunci.

Sebagai fasilitator dan penyelenggara perkaderan, kesadaran penuh untuk membantu kader mendapatkan pengalaman belajar harus terus diulik agar senantiasa dinamis.

Ketiga, dari ceramah-diskusi jadi proyek-kolaborasi. Kritik terbesar perkaderan yang menyenangkan adalah pada ketidakmampuan fasilitator atau penyelenggara perkaderan dalam mendevelop model dan metode perkaderan yang relevan dan interaktif. Metode-metode belajar yang konvensional seperti ceramah-diskusi masih sangat sering digunakan dan mendominasi perkaderan padahal kita tahu bahwa it is so yesterday, keles.

Zaman semakin berkembang, teknologi semakin maju, begitu pun dengan ragam variasi metode dan model belajar yang ada. Untuk mendorong keefektifan belajar kader, model dan metode yang monoton dan satu arah harus segera dikolaborasikan dengan metode-metode berbasis proyek (Project based) dan kolaborasi.

Ketimbang menggunakan metode ceramah saja, fasilitator atau pemateri perkaderan bisa menggunakan metode eksperimen sebagai selingan. Ketimbang pretest dan posttest dengan kertas, kini hal tersebut bisa dilakukan secara lebih asik dengan Kahoot, Quizizz, atau Mentimeter. Metode belajar berbasis virtual tour, virtual reality, atau augmented reality sangat bisa digunakan untuk memberikan kader pengalaman baru dalam belajar. Ragam metode dan model belajar inilah yang akan mendorong partisipasi aktif kader dalam belajar, sehingga tercipta perasaan gembira, bersemangat, dan ketertarikan tinggi pada proses perkaderan.

Terakhir, dari pasif jadi aktif-apresiatif. Perkaderan yang menyenangkan membutuhkan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Pendekatan belajar yang monoton dan satu arah merupakan pilihan yang kurang tepat untuk diterapkan saat ini. Generasi Z dan Generasi Strawberry adalah individu rapuh yang kreatif dan eksploratif. Pendekatan belajar yang pasif, yang memandang kader sebagai tabungan ini akan mematikan potensi dan minat belajar mereka sehingga justru, yang perlu dilakukan oleh penyelenggara dan fasilitator adalah: Aktif-apresiatif. Menjadikan kader sebagai mitra bertumbuh, melibatkan kader dalam proses belajar dan jajak pendapat, serta hal-hal lain yang menstimulus keaktifan kader dalam berproses.

Kader bukan tabungan yang hanya bisa diisi dan diisi. Kader di dalam perkaderan harus diposisikan sebagai individu merdeka yang memiliki kehendak untuk didiskusikan bersama. Ketika minat dan bakat didukung penuh oleh fasilitator, maka disitulah potensi kader terlihat. Fasilitator harus lebih daripada sekadar menjalankan fungsi mendengar-memfasilitasi, tetapi juga harus melakukan fungsi-fungsi apresiasi.

***

Sebelum tulisan ini jadi terlalu teknis dan panjang, saya mau berhenti sampai di sini. Membiarkan diskusi bergulir pada anda sambil bertanya-tanya: Terus kita kudu gimana?

Di luar itu semua, empat pilar perkaderan yang menyenangkan ini sejatinya sangat bisa disempurnakan—sebab memang tentu saja tulisan ini belum bersifat final. Anda bisa saja punya pilar yang lain untuk menyokong gagasan ini. Ide dan gagasan yang barusan anda baca adalah hasil refleksi dan keyakinan saya bahwa pembelajaran yang menyenangkan dalam perkaderan formal IPM adalah satu jalan agar kita bisa level up. Meningkatkan value perkaderan, tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas muatan di dalamnya. Tabik.

 

  • Penulis adalah Brilliant Dwi Izzulhaq, Ketua Bidang Perkaderan PW IPM Banten. Hobi memelihara kura-kura dan lagi belajar menulis.
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

 

Tags: , ,
IPM DIY Kupas Cerita Rakyat sebagai Edukasi Mitigasi Bencana
Hari Sejuta Pohon, IPM Bantul Wujudkan Desa Ekowisata
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.