IPM, Pak Hamdan, dan Masa-masa Penuh Tantangan

IPM, Pak Hamdan, dan Masa-masa Penuh Tantangan

Opini
1K views
Tidak ada komentar
IPM, Pak Hamdan, dan Masa-masa Penuh Tantangan

[adinserter block=”1″]

IPM, Pak Hamdan, dan Masa-masa Penuh Tantangan

Opini
1K views
IPM, Pak Hamdan, dan Masa-masa Penuh Tantangan
IPM, Pak Hamdan, dan Masa-masa Penuh Tantangan

Jogja, pertengahan 1985. Kami baru saja tamat SMA. Udara terasa cerah dan suasana gembira mencuat dimana-mana. Tentu saja aku terlibat. Baju seragamku diserbu tanda tangan teman-teman sekelas. Kegembiraan berlanjut dengan konvoi sepeda motor, sesuatu yang belum terlarang kala itu. Tetapi kegembiraanku hanya berlangsung dalam hitungan jam.

Surat dari Upoak dan Indok datang beberapa hari sebelumnya. Mereka menyerah, tidak sanggup lagi membiayai studiku. Sedangkan Buw (Kakak nomor empat, Kerinci) yang membawaku ke Jogja dan direncanakan membiayai kuliahku, entah sedang berada dimana. Maka, ketika teman-teman sekelas sibuk merencanakan rekreasi perpisahan kelas ke Bandung, aku diam-diam menghilang dari sekolah. Aku kembali berhadapan dengan realitas. Di Asrama Mas Mansur tempat aku kos, aku menulis surat kepada ketua kelas kami kelas-3 IPA-5, disiingkat PAIMO, SMA Muhi Angkatan 1985. Aku pamit tidak bisa melanjutkan kegembiraan bersama teman-teman sekelas.

November 1983: Tantangan dan Petualangan

Kesulitan ekonomi sebenarnya aku rasakan sejak beberapa tahun sebelumnya. Pada November 1983, Buw meninggalkan Jogja bersama istrinya yang datang dari Kerinci menjemputnya. Dengan tiket Kereta Api berharga Rp. 8.600,- Buw dan istrinya berangkat dari Stasiun Tugu menuju Jakarta.

Sebelum meninggalkan Jogja Buw menunaikan kewajibannya sebagai kakak mencarikan tempat kos untukku. Awalnya aku sempat kos di Patang Puluhan di sebuah rumah kos di belakang Warung Soto Cabang Pak Marto. Aku sempat tinggal disini selama dua minggu bersama beberapa teman. Salah satunya Irfan Ahadi, adik kelasku di Muhi yang berasal dari Sidareja Cilacap. Tetapi Buw tidak begitu yakin melepas aku kos disini. Lokasinya jauh dari masjid.

Akhirnya Buw menitipkan aku pada teman dekatnya, Uda Wil orang Bukittinggi yang menikah dengan orang Kauman. Atas bantuan Uda Wil aku bisa kos di rumah Pak Juzan Mursyidi, persis di sebelah barat Pengulon, rumah Penghulu Kraton Jogja yang adalah mertua Uda Wil. Alamat lengkapku adalah Kauman GM IV/124 Jogja.

Kauman, Masjid Gedhe, dan Sebuah Awal

Satu tahun di Kauman sungguh masa yang menyenangkan bagiku. Hari-hari diawali suara toa Masjid Gedhe membangunkan tidurku. “NgikAzzan awwalAllahu Akbar……” Demikian suara khas Mbah Djundi terdengar merdu.

Tempat kosku memang hanya sepelemparan batu dari pintu masuk Masjid Gedhe. Maka aku bisa sering salat jamaah. Minimal shubuh, magrib, dan Isya di masjid bersejarah ini. Beberapa teman SMA-ku juga tinggal disini. Sebagain anak kos, sebagian lagi penduduk asli Kauman.

Salah satu teman akrabku adalah Luthfi, anak bapak kosku sendiri. Sesekali dia tidur di kamarku. Bapak dan ibu kos juga baik dan hangat padaku. Mereka memanggilku dengan “Mahalli.” Setiap malam minggu aku ikut ronda di kantor RK (Rukun Kampung) Kauman. Salah satu daya tarik ronda ini adalah tersedianya makan besar. Dananya diperoleh dari konversi denda warga yang terjadwal tetapi berhalangan ronda. Setelah keliling kampung, lewat dini hari kami menutup ronda dengan melihat suasana malam di Alun-alun Utara. Walaupun agak jauh dari Muhi aku merasa nyaman saja karena aku menjangkaunya setiap hari dengan bersepeda.

Pak Suroso dan Tantangan Masa Depan

Semasa tinggal di Kauman kondisi ekonomi keluargaku di kampung halaman makin sulit untuk membiayai studiku. Wesel datang tidak rutin. Akupun mulai bekerja mencari tambahan penghasilan. Aku menjadi guru privat mengaji pada murid-murid Buw, keluarga Pak Suparjiman di Muja-muju. Ada lima muridku. Atik, Erry, Didik, Nina, dan Ita. Aku juga mengajari mereka matematika.

Saat itu aku kelas dua SMA dan murid terbesarku adalah Atik si sulung, siswi kelas tiga SMP. Aku juga menjual stiker SMA Muhi. Stiker ini diproduksi atas bantuan Pak Hussein Dahlan guruku yang berasal dari Palembang. Beliau mencetak ribuan stiker dan aku menjualnya ke teman-teman sekolahku. Sedangkan pekerjaan rutin adalah mendistribusikan rambak (Kerupuak Jangek) yang diproduksi keluarga Uda Wil. Dengan ransel besar penuh aku berkeliling Jogja naik sepeda menitipkan kerupuk ini di warung-warung makan. Aku bersepeda balap, pemberian paling berharga dari Buw untukku dari dana Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang beliau dapatkan dari BNI.

Memasuki tahun berikutnya situasiku makin menantang. Kiriman orang tua dan uang hasil bekerja sambil sekolah tidak cukup untuk memperpanjang kos. Untungnya pada hari-hari terakhir datang surat Buw disertai surat khusus untuk sahabat akrabnya, Pak Suroso. Aku diminta Buw menumpang di rumah Pak Suroso. Maka dengan naik becak dari Kauman aku hijrah kembali ke Pengok. Tetapi kali ini di Blok A, tidak di blok G sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Maka setidaknya aku bisa mengehamat uang kos.

Pak Suroso sangat baik padaku. Sesekali aku diajak makan bersama. Akupun membalasnya dengan membersihkan halaman yang cukup luas dari rumah pejabat PJKA ini. Karena blok A dengan blok G berbatasan langsung, maka, aku bisa kembali berinteraksi dengan teman-teman masa SMP-ku di blok G. Aku juga kembali menjadi jamaah masjid Nurul Huda yang berada di blok G. Kebaikan Pak Suroso menampung kau pada masa-masa sulit ini semoga menjadi tabungan pahala di sisi Allah SWT. Amin.

Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Kerinci

Setelah memiliki cukup dana aku kembali pindah kos. Dari Pengok ke asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Kerinci (IPMK) di Ledok Tukangan. Asrama ini persis berada di samping bawah Jembatan Kali Code yang menghubungkan Kotabru dengan Malioboro dan sekitarnya.

Di asrama ini kami beberapa orang Kerinci tinggal bersama. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa. Ada Wo Urpan Dani, wo Irfan, Wo Syafri Januk, dan Musdi saudaraku yang masih SMA dan bersama aku dulu berangkat ke Jogja pada 1979. Asrama ini menjadi pusat kegiatan IPMK. Berbagai musyawrah dan pertemuan diselenggarakan disini. Termasuk juga pelantikan pengurus. Pada dua periode kepengurusan aku menjadi pengurus IPMK seksi pelajar. Situasi di sekitar asrama selalu ramai. Bahkan suasana kehidupan malam Maioboro pun sayaup terdengar dari kamrku.

Alhamdulillah aku berhasil bertahan. Tetapi sesungguhnya aku babak belur. Ibarat anak ayam, aku kehilangan induk. Bayangkan, dalam setahun pindah kos sampai tiga kali. Maka prestasi akademikku ikut terlunta-lunta. Tetapi aku bersyukur bahwa dalam periode pertumbuhan dan mencari identitas diri yang berat ini masih berada di jalan yang lurus. Ini barangkali berkat pilhan kegiatanku sebagai aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).

IPM: Katarsis dan Penguat

IPM menjadi katarsis sekaligus penguat bagiku dalam menjalani masa-masa sulit ini. Tentu godaan pergaulan dan lingkungan tidaklah ringan. Pada suatu tengah malam aku tergetar. Saat itu aku malam telah larut. Suara kendaraan di atas jembatan Kretek Kewek hanya terdengar sesekali. Teman-temanku satu asrama sudah terlelap. Tiba-tiba beberapa ketukan lembut terdengar dari pintu kamar kosku yang menghadap ke bagian samping asrama. Suara lembut seorang wanita terdengar jelas beberapa kali dari luar pintu, “Mas… Mas… buka pintunya Mas….” Astaghfirullah, aku segera pindah tidur masuk ke bagian dalam asrama. Besoknya aku segera memikirkan mencari tempat kos yang baru.

Pada bagian terakhir dari masa sulit kelas tiga SMA ini, aku akhirnya terdampar di Asrama Mas Mansur. Asrama ini didirikan oleh Pimpinan Pusat IPM dalam rangka membina para pelajar. Sebagai pilot proyek para penghuninya adalah siswa SMA Muhi.

Ada beberapa keuntungan tinggal di asrama ini. Pertama, dari sisi pembayaran ada kelonggaran. Kedua, aku kembali bisa berdekatan dengan masjid. Tembok belakang asrama menyatu dengan tembok Masjid Nurahawwin. Ketiga, disini aku bisa berinteraksi langsung dengan para senior yang merupakan fungsionaris Pimpinan Pusat IPM. Sebagian dari mereka menjadi Pembina asrama.

Ada bang Syahrial mahasiswa Teknik Pertambangan STTNAS. Ada bang Ismail mahasiswa Filsafat UGM nyang mejadi Sekretaris Jenderal PP IPM. Lalu ada Bang Haedar, Ketua Umum PP IPM kala itu dan kini menjadi Ketum PP Muhammadiyah. Maka walaupun hanya pengurus di tingkat Daerah, aku dekat dengan Pimpinan Pusat. Hubungan kami lebih seperti abang dan adik.

Agustus 1985: Pak Hamdan dan Sore yang Mencerahkan

Jogja, Agustus 1985. Aku sudah tamat SMA dan ada dua kebahagiaanku hari-hari ini. Pertama, aku akhirnya bergabung dengan acara perpisahan kelas di Bandung. Setelah membaca suratku teman-teman sekelas berempati dan meminta aku tetap berangkat tanpa bayar. Kedua, Pada suatu sore, aku diboncengkan Pak Hamdan, salah satu ketua PP IPM dan guru Muallimin Muhammadiyah Jogja.

Dengan si Pitung Merah, kami dalam perjalanan pulang dari sebuah acara IPM. Sepanjang perjalanan aku bercerita pada Pak Hamdan. Bahwa aku sudah tamat SMA Muhi, bahwa aku diminta surut sementara ke kampung halaman, bahwa aku bertekad bertahan di Jogja di luar tanggungan keluarga. Aku memelihara cita-cita untuk bisa lanjut kuliah di tahun-tahun berikutnya.

“Kamu bisa ngetik?” Potong Pak Hamdan.

“Bisa Pak. Kebetulan SMP-ku dulu bekas SMEP. Kami diajari mengetik sepuluh jari,” jawabku jelas.

“Kalau begitu Kamu mulai besok masuk kerja di Muallimin ya…” Kalimat terakhir Pak Hamdan ini langsung membuat dunia sore itu terasa kembali cerah. Sebuah era baru hidupku segera bisa dimulai. Alhamdulillah, Allahu akbar.

*) Catatan

  • Penulis adalah Mahli Zainuddin Tago, Sekretaris LazisMu PP Muhammadiyah.
  • Substansi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Tags: , ,
Refleksi Milad 60 IPM, Hafizh: Kader IPM Harus Berpikir Luas!
Muktamar Luar Biasa Resmi Dibuka!
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.