Bukan Italia, Bukan Juga Argentina: Simak Keseruan Kabid Perkaderan PP IPM Exchange ke Omaha!

Bukan Italia, Bukan Juga Argentina: Simak Keseruan Kabid Perkaderan PP IPM Exchange ke Omaha!

BeritaPP IPM
1K views
Tidak ada komentar

[adinserter block=”1″]

Bukan Italia, Bukan Juga Argentina: Simak Keseruan Kabid Perkaderan PP IPM Exchange ke Omaha!

BeritaPP IPM
1K views

IPM.OR.ID., JAKARTA – Kader IPM yang sesungguhnya ialah kader yang senantiasa belajar, dimanapun dan kapanpun. Kesempatan belajar ini lah yang tidak dilewatkan oleh Nabhan Mudrik Alyaum (Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bidang Perkaderan). Pria yang akrab disapa Nabhan ini tengah mengikuti program Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) Academic Fellowsip  di Omaha, Nebraska, sebuah negara bagian dari Amerika Serikat yang terletak di bagian tengah. Selama 35 hari terhitung dari Minggu (02/10/2022) Nabhan bersama-sama dengan perwakilan pemuda se-Asia Tenggara fokus terlibat dalam isu civic engagement. Kepada tim ipm.or.id, Nabhan menuturkan cerita dan pengalamannya selama belajar di negeri kelahiran Warren Buffet tersebut.

Sejak tahun 2015, Nabhan telah bermimpi untuk mengenal dunia luar. Ketertarikannya kepada budaya dari beragam penjuru dunia itu mengantarkannya kepada upaya untuk mendaftar beasiswa ke luar negeri sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. “2015 juga adalah tahun dimana untuk pertama kalinya aku punya cita-cita jadi presiden,” ucap Nabhan. Ia melanjutkan bahwa perjuangan dan proses pendaftaran dan seleksi beasiswa belajar ke luar negeri itu tidak mudah. Dirinya lolos hanya sampai tahap pemberkasan dan wawancara.

Tetapi kegagalan tidak membuat Nabhan menyerah. Ia kembali mencoba program pertukaran ke luar negeri tahun 2018 dan gagal, baru lah kemudian tahun 2022 ia bisa merealisasikan mimpinya. Menurut Nabhan, untuk bisa belajar lebih jauh lagi, bisa hidup di dunia yang luas, dan memahami di pergaulan internasional, maka diperlukan untuk adanya ‘perkenalan’ dengan budaya-budaya lain.

“Kalau terkhusus sekarang karena aku di PP IPM, dengan belajar di luar negeri aku juga ingin terlibat untuk ngenalin internasionalisasi Muhammadiyah,” sambung Nabhan.

Motivasi yang kuat, niat dan semangat untuk selalu berkembang adalah modal Nabhan untuk terus belajar. Selama proses seleksi, tentu Nabhan mendapati tantangan mulai dari proses pemberkasan dan wawancara. Kepada tim ipm.or.id, ia menuturkan, “yang baru aku sadari juga, ternyata kemampuan menulis bahasa Inggris dengan baik dan benar itu satu hal yang berbeda. Aku nulis motivation letter itu jadi agak-agak deg-degan.” Selain dalam tataran pemberkasan itu, Nabhan juga melanjutkan bahwa meskipun kemampuan komunikasi dalam bahasa Inggris kita bagus, rupanya tahap wawancara dengan bahasa Inggris ini juga hal yang tidak sederhana.

“Mungkin kita punya ide yang brilian gitu, tetapi untuk menyampaikan dan mengomunikasikannya dengan bahasa Inggris adalah satu hal yang berbeda teman-teman,” jelas Nabhan.

Dipilihnya Nabhan sebagai salah satu dari dua perwakilan Indonesia dalam YSEALI Academic Fellowship ini tidak membuatnya serta-merta lega. “Agak pusing dan gugup awalnya,” jelas Nabhan. Di saat ia diterima program pertukaran tersebut dirinya tengah dihimpit beragam kesibukan. Mulai dari dihelatnya Tanwir IPM di Sorong, persiapan Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan tanggung jawab akademiknya sebagai mahasiswa S2 di UGM.

Persoalan-persoalan perbedaan kultur antara Indonesia dan Omaha juga tidak mudah. Lebih dingin dari suhu Dieng, suhu di Omaha saat musim gugur menyentuh -6 derajat celcius dan itu cukup untuk membuat Kabid Perkaderan PP IPM menggigil. Selain rasa gugup, khawatir, dan ketidakpercayaannya akan proses yang ia alami, persoalan suhu dan cuaca adalah hal yang pertama kali ia notice. “Aku taruh itu air putih di luar, itu jadi es besok paginya,” tutur Nabhan. Selain persoalan suhu dan cuaca, soal keamanan adalah satu hal tersendiri yang turut menjadi tantangan selama menjalani exchange di Omaha. Nabhan menuturkan bahwa kebijakan Amerika Serikat yang memperbolehkan kepemilikan senjata api tak jarang disalahgunakan oleh warga setempat, ia bahkan menuturkan, “kemarin waktu aku di sini, terjadi penembakan di Texas, misalnya.”

Kemajuan yang dimiliki oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat menurut Nabhan juga tentu memiliki keunikan, salah satunya: Self service. Di Indonesia, bila kita hendak memesan makanan atau minuman di kantin sekolah atau universitas, kita membelinya dengan berkomunikasi dan bertanya dua arah pada pedagang. Tetapi di Omaha, tempat dimana Nabhan menjalani program pertukaran belajarnya, ia harus mengambil, membayar, dan melakukan semua kegiatan sendiri. Bahkan di minimarket, terdapat juga banyak ruang untuk pembeli melakukan pembelanjaan dengan sistem self service. “Ya, nge-scan sendiri gitu,” ujar Nabhan.

Infrastruktur bangunan dan perkotaan di Omaha juga lebih maju bila dibandingkan dengan Indonesia. Salah satu yang Nabhan amati adalah soal mesin pencuci piring. Ia menyebut bahwa di Indonesia tidak banyak ada mesin seperti itu di rumah-rumah. Selain itu, ketersediaan air minum juga adalah hal yang ia amati. “Di sini air keran itu bisa langsung diminum, bahkan sudah ada mode panas dan dingin,” jelas Nabhan.

Perbedaan aktivitas akademik antara Omaha dan Indonesia juga menarik untuk diikuti. Selama mengikuti kegiatan pertukaran ke Omaha, Nabhan tidak hanya melakukan kegiatan sebagaimana yang ia jalani di Indonesia. Mahasiswa S2 di Universitas Gadjah Mada tersebut tidak hanya belajar di dalam kelas saja, tetapi juga di luar. Terdapat kegiatan observasi di lapangan, games-games menyenangkan, pertemuan dengan tokoh dari luar kampus seperti praktisi yang menggeluti bidang yang sama dengan para peserta YSEALI. “Selama aku belajar di sini dosen-dosen di sini juga seru-seru, materinya gak monoton. Jadi lebih banyak ngobrolnya, ada aktivitas semacam games, lebih banyak diskusi, tukar pendapat dan bener-bener aktif.”

Menurut laporan pada tahun 2021, mayoritas dari penduduk Amerika Serikat adalah penganut agama Kristen dengan persentase sebesar 71%. Hal ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi Eks Personalia Lembaga Media PP IPM tersebut dalam beribadah selama menjalani program pertukaran di Omaha. Meskipun Amerika Serikat adalah negara sekuler, negeri dengan julukan Paman Sam ini memberikan keleluasaan kepada warganya untuk memiliki kebebasan beragama. Sehingga menurut Nabhan, soal ibadah di Omaha adalah hal yang mudah dan tidak mudah. Akses menuju masjid lumayan jauh. Tetapi kendati demikian, hal itu bukan masalah yang besar.

Masalah yang sulit diobati dan merupakan salah satu kerinduan Nabhan akan Indonesia ialah makanannya. Ia menuturkan, “aku udah kangen banget sama rendang sih by the way. Sama rendang dan gulai tunjang di masakan Padang ya. Emang makanan sini rasanya aneh-aneh gitu, entah karena rasanya gak ada atau ya aneh-aneh. Misalnya, di Indonesia kan kalo kita makan nasi gak mateng kita marah-marah, ya. Tapi di sini memang ada masakan yang nasinya dibuat gak mateng.”

Perjalanan yang jauh dari Indonesia – Omaha tentu membuat Nabhan bersyukur soal banyak hal. Kepada tim ipm.or.id, Nabhan menuturkan rasa syukurnya kepada IPM sebab karena IPM lah ia bisa bertemu dengan orang banyak dan menjadi pemacu dirinya untuk berkembang dari waktu ke waktu serta kepemimpinan. “Gabung di IPM adalah kunci dari aku bisa masuk ke program (YSEALI) dan membawa aku ribuan kilo dari Indonesia ini,” jelas Nabhan. Selain itu, ia juga bersyukur bisa mendapatkan banyak pelajaran terutama pada tataran teknis dan cara-cara yang berguna untuk mengembangkan program ketika kembali pulang ke Indonesia. Pada tataran pemerintahan Nabhan juga terbuka matanya pada bagaimana demokrasi berjalan di Amerika. “Pemerintah dan pejabat ada itu untuk melayani rakyat gitu, lho. Bukan untuk menjadi atasannya rakyat, tetapi gimana caranya jadi pelayannya rakyat. Bukan malah menghadapinya dengan kekuatan-kekuatan militer.”

Terakhir, Nabhan berpesan agar rantai belajar ini tidak putus dan berhenti. “Gak perlu khawatir sama apa pun itu, yang terjadi itu pasti lebih mending daripada yang ditakutkan teman-teman,” ucap Nabhan. Ia juga berpesan agar kader IPM tidak perlu memandang jauh ke depan untuk sebuah impian yang tinggi atau ke belakang dalam melihat masalah yang telah lewat, “fokus aja di hari ini. Coba aja di manage setiap kemampuan teman-teman karena kita punya hal spesial di diri kita dan fokus di situ aja.” Nabhan juga menuturkan bahwa kita, kader IPM, minimal harus melakukan sesuatu yang besar lima kali gagal–dan yang terpenting untuk menghadapi itu ya kita menyiapkan saja sebaik-baiknya. *(iant)

Tags: , ,
Dakwah Inklusif Alumni PDPM 3 IPM DIY di Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta
Ribuan Pelajar Se-Indonesia Turun ke Jalan Dalam Gerakan Aksi Pelajar Untuk Iklim
Mungkin anda suka:
Advertisement

[adinserter name=”Block 2″]

Suka artikel ini? Yuk bagikan kepada temanmu!

Terpopuler :

Baca Juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.